Festival musik dunia diadakan di Bali. Nuansa promosi lebih kentara.
Sembilan orang terkesan sedang main-main. Mereka berjalan, berjingkat, meloncat, berlari, di panggung. Bertingkah seenaknya. Dua perempuan dan tujuh laki-laki, umur 30-an ke atas itu kemudian mengambil perkakas maing-masing. Sesaat kemudian laki-laki, seperti mengomando, mengalunkan suara-suara naik turun. Tinggi. Turun. Melengking. Serentak mereka kemudian menyanyikan lagu-lagu mainan dari daerah asal mereka, Minangkabau. Cubadak kantang! Cubadak kantang! Cubadak kantang! Cubadak kantang! Ka! Ka! Ka! Kajuang. Cubadak kantang! Iramanya rancak. Berulang-ulang.
Sembari menyanyi rancak, masing-masing mengambil posisi membentuk barisan agak melengkung ke depan. Alat musik mereka, barangkali, tidak awam bagi kita. Ada canang, yang sehari-hari digunakan untuk memanggil warga ketika akan rapat dengan cara memukulnya, ada gamelan Sunda, gandang batuan, ganto, rebana, gandang jihin, bahkan bakiak, yang sehari-hari di Minangkabau digunakan sebagai alas kaki ketika ke Masjid.