Monthly Archives: March 2004

Tan Malaka – Yang Terlupakan

Dibanding Soekarno, Hatta, Soedirman, atau pahlawan nasional lain, nama Tan Malaka bukanlah apa-apa. Dia tidak terlalu dikenal publik. Dulu, tiap orang termasuk mahasiswa yang mengagumi perjuangannya bahkan harus berhadapan dengan aparat. Bagi penguasa Orde Baru (Orba), Tan Malaka adalah momok. Setiap orang yang mengaguminya harus dicurigai

Empat tahun sebelum terjadi Sumpah Pemuda, enam tahun sebelum Hatta menulis brosur “Mencapai Indonesia Merdeka” pada 1930, atau bahkan delapan tahun sebelum Soekarno menulis brosur “Ke Arah Indonesia Merdeka” pada 1932, Tan Malaka telah menulis “Naar de Republik Indonesia” yang berarti “Menuju Republik Indonesia”. Ketika tulisan tersebut muncul, belum pernah ada tulisan yang mengulas cita-cita kemerdekaan Indonesia. Artinya, Tan Malaka adalah pemikir dan pejuang politik pertama di Indonesia yang mengajukan konsep negara Republik Indonesia (RI).

Namun, terlalu sedikit orang yang mengerti tentang Tan Malaka. Subjektivitas plus politisasi sejarah ala Orba membuahkan gambaran gelap tentang peran Tan Malaka bagi perjuangan republik ini. Akhirnya, Diponegoro, Imam Bonjol, Soekarno, Hatta, Soedirman, dan sederet nama pahlawan nasional lain juga lebih glamour dibanding Tan Malaka. Di antara nama-nama tersebut, Tan Malaka bukanlah apa-apa.

Tan Malaka adalah sosok misterius pada kancah pahlawan nasional. Bahkan keberadaannya tergolong kontroversial. Seorang muslim taat yang turut melahirkan Partai Komunis Indonesia, yang dikenal sebagai partai orang-orang atheis. Seorang pendukung Soekarno untuk menjadi presiden pertama RI, namun dia adalah orang pertama yang melawan ketika Soekarno mulai menerapkan demokrasi terpimpinnya.

Lalu apa menariknya membicarakan Tan Malaka saat ini? Hal yang pasti adalah bahwa Tan Malaka berjuang tanpa pamrih. Dalam sejarahnya, Tan Malaka tak pernah menduduki jabatan-jabatan birokrat, seperti Soekarno ataupun Hatta. Perjuangan politik Tan Malaka lebih diwarnai pembangkangan terhadap penguasa. Demikian juga, kehidupannya bahkan lebih terkenal dari penjara ke penjara. Ketika zaman imperialisme Belanda, dia harus mendekam di penjara. Ketika Jepang berkuasa, dia harus dipenjara, bahkan ketika Indonesia telah merdeka pun Tan Malaka harus dipenjara. Dia selalu jadi pembangkang penguasa. Perjuangannya tidak pernah diakhiri suatu jabatan publik. Nyaris tanpa pamrih. “Siapa ingin merdeka, harus berani di penjara,” teriaknya. Bahkan, ketika telah mati pula, Tan Malaka harus menjadi nama yang terpenjara.

Bangsa ini tak pernah mengakui keluarbiasaan ide Tan Malaka. Namanya lebih dikenal dengan tokoh antagonis dalam sejarah pahlawan nasional. Setidaknya, nama Tan Malaka dianggap sebagai momok bagi sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa karena ideologi politiknya yang “kiri”. Keberpihakannya pada perjuangan pada tataran grass root, dengan melibatkan pada pengorganisasian petani dan buruh melahirkan kecurigaan oleh kelompok mapan.

Tan Malaka lebih terkenal karena pikiran-pikirannya. Dia lebih banyak berjuang melalui ide-ide. Inilah barangkali salah satu alasan kenapa bangsa ini tidak terlalu menganggap penting perjuangannya. Selama ini, orang mendominasikan peran pahlawan-pahlawan yang berjuang melalui perang. Tan Malaka memilih berjuang dengan caranya sendiri, bukan dengan senjata. Orang pun, diakui atau tidak, akhirnya terjebak pada pola pandang kebenaran, materialis. Mengukur bentuk perjuangan dari sejauh bentuk fisik yang telah terbangun. Pejuang bertempur dengan penjajah. Sekian nyawa penjajah hilang. Atau pada konteks kekinian, sejauh mana pembangunan yang telah dilakukan seorang pejabat.

Tak heran pejabat akhirnya berlomba membangun prasasti, mengenang hasil perjuangan melalui kebendaan. Maka, wajar apabila Marx mengukur sejarah manusia pun melalui materi. Logika pikir kebanyakan orang terbentur pada materialisme. Logika pikir semacam ini lalu lari ke arah penghargaan perjuangan secara fisik. Seorang atlet mendapat penghargaan lebih dibanding seorang peneliti. Ide telah dikalahkan fisik. Padahal Jalaluddin Rahmat pernah mengatakan bahwa revolusi pun berawal dari sebuah gagasan. Artinya, perubahan sekecil apapun pasti diawali ide, pikiran. Lalu kenapa orang lalu menganaktirikan “pejuang ide”? Tan Malaka misalnya.

Dalam perjuangan mewujudkan ide inilah, kadang-kadang jabatan jadi alat. Dan, Tan Malaka konsisten dengan itu. Inilah hal luar biasa yang cenderung menjadi barang langka saat ini. Jabatan, status yang merupakan alat mematerialkan ide justru telah menjadi tujuan, meskipun terjadi distorsi antara tujuan ide dengan kondisi alat.Dari sinilah menjadi menarik jika dianalogikan dengan kondisi politik negeri ini. Kritik Amien Rais terhadap Gus Dur barangkali adalah pengingatan bahwa jabatan presiden bukanlah tujuan untuk mendukung Gus Dur dalam SU setahun lalu. Dukungan Amien Rais untuk menaikkan Gus Dur jadi presiden pada SU bisa jadi adalah untuk mewujudkan tujuan reformasi. Gus Dur jadi presiden bukan tujuan, tetapi alat. Dan, ketika Gus Dur belum juga mampu menjawab cita-cita penggulingan rezim Soeharto, barangkali Amien Rais bermaksud mengingatkan.

Tetapi, itu mungkin, karena Amien Rais pun bukan Tan Malaka. Bisa jadi ada tendensi di balik kritik penurunan Gus Dur. Bisa jadi Amien Rais pamrih, mengharap sesuatu dengan kritiknya. Dan, itu bukan hanya Ketua MPR tersebut. Bisa jadi Akbar Tandjung, Megawati, dan semua pemimpin di negeri ini, atau bahkan kita. Ironisnya, inilah gambaran “pahlawan-pahlawan” sekarang. Negeri ini telah didominasi orang-orang pamrih yang mengharap keuntungan dari apa pun yang dilakukan. Meskipun untuk tujuan itu, mereka mengorbankan rakyat kecil.

-pernah dimuat Bali Post-

Leave a comment

Filed under Uncategorized

00.03 wita

kepada seseorang bernickname

karenamu wujud ini ada.

singkatnya, terima kasih..

jirov

Leave a comment

Filed under Uncategorized

"The Deep": Menyelam di Kedalaman

Dunia laut disajikan dengan informasi futuristik di dalam akuarium raksasa. Kita bisa menyelamatkan Bumi di sana.

Ketika mendekati Sungai Hull, Inggris, dari Laut Utara Eropa, terlihat bangunan yang berbeda dari bangunan lain di sekitarnya. Bentuknya sekilas mirip berlian dengan cahaya berkilauan. Warnanya kebiruan dan persis terletak di bibir laut yang airnya kecokelatan karena dekat dengan sungai tersebut.

Bangunan itu bernama The Deep yang di brosur-brosur pariwisata setempat disebut The World’s only Submarium. The Deep pun selalu berada di urutan nomor satu pada brosur-brosur di kota kecil di Inggris. Posternya berada di beberapa tempat publik, seperti stasiun kereta api atau pelabuhan yang saya singgahi. The Deep seperti menjadi maskot kota pantai berjarak sekitar tiga jam perjalanan kereta api dari London tersebut.

Bentuk yang sebenarnya, ketika berada dekat dengannya, ternyata lebih mirip kapal. Bagian mirip berlian itu adalah haluan mengerucut yang ujungnya berjendela kaca. Sedangkan buritan, atau bagian belakangnya, datar biasa berwarna hitam setinggi sekitar 25 meter yang juga terdapat beberapa jendela kaca. Dari “buritan” inilah kita akan masuk, menyelam di kedalaman The Deep.

Sebelum masuk akuarium raksasa ini, setelah membeli tiket 6,5 pounds atau sekitar Rp 94.000, pengunjung disambut lima lukisan pada kaca seukuran masing-masing 1,5 m x 3 m. Pada tiap lukisan di dinding berwarna biru laut itu digambarkan peradaban laut masa lampau. Misalnya tentang gambar perempuan-perempuan di kapal layar yang bergandengan dengan awak kapal. Di antara lukisan-lukisan itu terdapat tulisan dari Anne Sterenson yang ditulis di Laut Utara pada tahun 1977, The sea is as near as we come to another world….

Dan, kehidupan laut itu memang begitu dekat dan akrab. Sebab kita bisa menyelam di kedalamannya tanpa harus menggunakan kaki katak (fin), BCD, logam pemberat, kaca mata, dan peralatan menyelam lainnya. Kita tinggal menyusuri seluruh bagian The Deep yang berurutan berdasarkan waktu kehidupan.

Proses kelahiran planet

Bagian pertama bernama Ocean Cradle. Bagian ini menampilkan informasi kehidupan pada sebuah TV layar datar berukuran sekitar 1,5 m x 0,5 m persegi dilengkapi suara dan tulisan di bawahnya. Di tiap informasi juga terdapat permainan yang melibatkan kita. Pada bagian ini, setelah dikenalkan pembagian samudra di dunia yang terbagi antara lain Samudra Pasifik, Samudra Selatan, Samudra Hindia, Samudra Atlantik, dan Samudra Utara, kita bisa melihat proses kelahiran planet.

Diceritakan bahwa saat planet Bumi lahir sekitar 4.600 juta tahun hingga 3.500 juta tahun lalu adalah masa pembentukan dan perubahan laut. Perubahan bentuk samudra ini dijelaskan sebagai berikut. Lempengan raksasa membawa daratan dan samudra terhanyut menyeberangi permukaan Bumi. Lempengan itu kemudian menjadi dasar samudra. Karang-karang tua juga turut membantu perubahan bentuk samudra ini. Adapun permainan yang ada pada bagian ini adalah mengurut planet dari yang terdekat hingga yang terjauh dari Matahari.

Pada 600 juta tahun lalu barulah mulai ada makhluk hidup yang diawali oleh ubur-ubur. Makhluk bernama latin Aurelia aurita ini berada di sebuah tabung bening yang bisa kita lihat. Warnanya putih dengan tekstur tubuh yang sepertinya sangat lentur dan berlendir. Seratus tahun kemudian baru muncul ikan yang pertama. Ikan pada masa 500 juta tahun lalu ini tidak punya rahang sehingga hanya dapat mengisap atau menusuk mangsanya. Berturut-turut selanjutnya adalah 270 juta tahun lalu mulai muncul reptil di laut seperti iguana dan buaya laut; dan 55 juta tahun lalu muncul mamalia laut seperti paus.

Pada 130 ribu tahun lalu barulah manusia mengenal kehidupan laut. Pada bagian ini diperlihatkan bagaimana manusia membuat perahu untuk bergerak dari satu pulau ke pulau lain. Juga bagaimana manusia kemudian merusaknya, salah satunya dengan aktivitas menyelam. Menariknya, pada informasi ini juga diperlihatkan jumlah manusia di bumi yang terus bertambah. Hanya sekitar semenit di tempat ini sudah bertambah dari 6.234.887.688 menjadi 6.234.887.704.

Oya, bagian dari awal lahirnya bumi hingga manusia mengenal laut tersebut berada pada ruangan memanjang bertingkat dua. Kita harus menyusuri jembatan selebar 2,5 m sepanjang sekitar 20 m. Tiap informasi berada di bagian kiri jembatan. Ketika pada informasi mulainya kehidupan mamalia laut, di dindingnya terdapat fosil-fosil makhluk seperti dinosaurus yang berwarna putih dengan dinding biru laut dan lampu temaram.

Keluar dari Ocean Cradle ini kita berada pada ruangan bernama Lagoons of Light. Tempat ini mirip habitat terumbu karang, seperti salah satu titik menyelam di Pulau Menjangan, Bali Utara. Airnya bening dengan kaca setinggi 2 m dan air 1,5 m. Suhunya berkisar antara 23-25 derajat Celsius.

Menurut salah satu staf yang menjaga, ada 115 spesies ikan yang sebagian besar kecil ukurannya. Misalnya ikan neon yang berukuran sebesar ibu jari kaki orang dewasa. Ikan berwarna biru ini sangat mencolok karena seperti mengeluarkan cahaya. Atau ikan badut yang dikenal sebagai ikan nemo (Amphiprion ocellaris) di film animasi Finding Nemo. Mereka bergerombol berdasarkan jenisnya masing-masing. Pasir di tempat ini putih dengan koral berwarna-warni. Informasi di tempat ini adalah bahwa ombaklah yang membawa makanan bagi terumbu karang.

Masih di Lagoons of Light, pada tempat terpisah terdapat penjelasan masing-masing ikan yang hidup di bagian ini. Antara lain ikan bernama latin Chaeredon fasciatus, Zebrasoma flavercens, Centropyge bicolor, serta Pseudanthias squamipinnis. Ikan yang terakhir itu unik sebab mereka berwarna mirip terumbu karang. Warna ikan yang berwarna-warni ini untuk memudahkan mereka mengenali teman atau musuh.

Selesai di habitat terumbu karang ini, kita kemudian masuk ruangan Endless Ocean di mana terdapat ikan-ikan besar seperti pari, tongkol, hingga hiu. Ada juga jack fish (Caran sexfasciatus). Ikan mirip tongkol ini menarik sebab bergerombol dalam jumlah ratusan. Mereka berenang perlahan ke arah kaca akuarium raksasa. Namun, ketika ada hiu lewat, mereka berpencar dengan cepat lalu kembali pada gerombolan awal. Karena ada hiu ini pula maka diberi pembatas rantai besi antar pengunjung dengan kaca kolam. Seorang penjaga juga selalu berdiri dekat kaca seperti selalu waspada.

Selain akuarium raksasa sebesar kelas itu, di Endless Ocean juga terdapat akuarium-akuarium kecil dengan kekhasan spesies masing-masing. Antara lain jenis Living Together, Hide and Seek, Inteligence, Armed and Dangerous, Ocean Garden, hingga Father Care. Ikan yang cerdas itu misalnya cumi-cumi, sedangkan spesies yang peduli itu adalah kuda laut. Ikan lainnya antara lain ikan beo, roditence, mola-mola, stringray, gorgonian, serta sea fans. Berada di tempat ini serasa sedang menyelam di Tulamben, Karangasem, Bali Timur.

Selesai menyelami kehidupan laut di akuarium dengan 2,5 juta liter air dan 87 ton garam tersebut kita kemudian masuk bagian Kingdom of Ice. Sebelum masuk ruangan dingin ini, kita bisa istirahat di pintu gua. Asyiknya kita tetap bisa melihat berbagai macam ikan, termasuk hiu, berenang di sekeliling kita, bahkan tepat di atas kita. Sebab, kita berada di terowongan berdinding akuarium.

Pengaruh cuaca global

Masuk Kingdom of Ice kita disambut meja bulat yang berisi peringatan tentang pengaruh cuaca global terhadap keadaan Bumi. Setelah itu, ternyata tempat ini memang hanya terowongan es yang membawa kita ke tempat lain. Kali ini adalah arena permainan bernama Deep Blue 1.

Masuk area ini kita disambut tulisan futuristik, Deep Blue 1 was opened by President of The World Federation States on International Ocean Day 2042. Ruangan ini berisi sepuluh jenis permainan yang seluruhnya berkaitan dengan kehidupan laut. Selain itu, ada tiga layar sekitar 3 m x 2,5 m yang menyajikan informasi tentang Sungai Amazon yang memang berpengaruh besar terhadap kehidupan laut di Bumi.

Adapun permainan seluruhnya berupa misi menyelematkan Bumi. Salah satunya adalah dengan bagaimana kita bisa mempertahankan jumlah air di Bumi sementara jumlah manusia semakin bertambah. Penyajian permainan ini sangat modern layaknya misi luar angkasa atau perang antar galaksi di film-film futuristik.

Di Deep Blue 1 penyelaman berakhir. Sebab, setelah itu, kita naik ke permukaan dengan lift. Asyiknya, lift lambat ini melewati tengah-tengah akuarium raksasa dan berhenti setiap 15 detik. Jadi kita masih tetap bisa menikmati kedalaman The Deep hingga permukaan. Begitu kita keluar dari lift, eh, tau-tau kita sudah berada di tempat penjualan souvenir yang seluruhnya bertema kehidupan laut. Dengan modal tak sampai 5 pounds kita bisa milih kartu pos tiga dimensi, pulpen, diari, kalender, serta souvenir lain untuk kenang-kenangan setelah “menyelam”.

-dimuat Kompas-

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Lagu, Produk Budaya

BELUM lama ini, Susanto Pudjomartono, wartawan senior di Indonesia, menulis hal menarik tentang lagu “Indonesia Raya”. Menjelang proklamasi kemerdekaan, sesaat setelah memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden di awal republik ini berdiri, para pejuang intelektual itu menyanyikan lagu karangan Wage Rudolf Supratman tersebut. Tujuannya, meneguhkan kembali komitmen bersama untuk mendirikan sebuah republik bernama Indonesia. Pada zaman-zaman itu, lagu bisa menjadi alat efektif untuk menggugah nasionalisme. Lagu-lagu perjuangan semacam “Indonesia Raya”, “Padamu Negeri”, “Satu Nusa Satu Bangsa”, dalam konteksnya sendiri telah turut membentuk bangsa ini.

Kemudian apa yang bisa didiskusikan dari lagu-lagu pada saat ini? Lirik sebuah lagu kadang erat kaitannya dengan suasana psikologis seseorang. Ketika jatuh cinta, secara psikologis, bahkan kadang-kadang tidak disadari, orang akan sangat menyukai lagu-lagu bertema jatuh cinta. Hal yang sama berlaku ketika orang patah hati. Lagu-lagu mendayu tentang patah hati, putus cinta, akan sangat mendominasi perasaan kita.

Tahun 1980-an orang mengenal penyanyi macam Betharia Sonata, Tommy J Pisa (almarhum), Rita Sugiarto, dan sederet penyanyi yang melagukan lagu-lagu bertemu kesedihan, patah hati, dan sejenisnya. Pada masa itu, lagu-lagu bertema sama bisa dikatakan mendominasi perkembangan musik di Indonesia.

Banyaknya lagu-lagu yang menyajikan ketidaksemangatan, kesedihan, dan semacamnya itu bahkan pernah melahirkan adanya larangan terhadap lirik lagu seperti itu. Alasan pemerintah ketika itu karena lirik-lirik lagu tersebut tidak membuat orang optimis. Bahasa gampangnya, lagu kok hanya bisa bikin orang bertambah sedih.

***

Lirik lagu memang bisa jadi pembawa pesan moral yang efektif. Pada masa lahirnya flower generation di Amerika Serikat pada 1960-an, lagu-lagu di negeri adidaya itu lebih banyak bertema cinta. Masa itu adalah masa protes generasi muda Amerika terhadap perang Vietnam yang dianggap hanya melahirkan banyak korban. Slogan mereka yang legendaris ketika itu adalah “Make Love, Not War”. Ya, bukankah memang lebih baik bercinta daripada perang?

Intervensi negara terhadap lirik lagu ini juga pernah terjadi di Indonesia pada 1965 pada awal lahirnya Orde Baru. Lagu “Potong Bebek” dianggap sebagai lagunya kaum komunis. Sebab, lagu itu oleh kaum komunis dianggap sebagai perayaan pembunuhan. Tepatnya pada lirik “potong bebek masak di kuali, nona minta dansa, dansa empat kali, serong ke kiri, serong ke kanan.” “Serong ke kiri” dulu, baru “kanan” inilah yang dianggap sebagai pesan moral kaum komunis. Kenapa harus serong ke kiri dulu baru ke kanan?

***

Sebagai produk kebudayaan, lagu memang tidak bisa dibiarkan berdiri sendiri. Lagu dengan beragam jenisnya lahir sebagai entitas kebudayaan manusia dari masa ke masa. Lagu menyampaikan pesan di dalamnya yang kadang tidak disadari oleh konsumen lagu.

Itu dia, kalau menyanyi dianggap sebagai praktik konsumsi budaya, maka benarlah yang disampaikan Michel de Certeau. Sebagai produk kebudayaan, lagu tidak semata-mata dipakai menyatakan sesuatu, tapi juga secara aktif dan simultan melakukan sesuatu. Contohnya, ketika Rhoma Irama menyanyikan lirik, “begadang jangan begadang, begadang tiada artinya”, maka pada saat yang sama Rhoma Irama juga tengah menasihati orang lain agar tidak begadang. Rhoma tidak hanya menyanyi, tapi juga secara aktif sedang menasihati orang lewat lagunya.

Namun kadang-kadang lagu dinikmati sebatas lagu. Ada ilustrasi menarik perihal ini. Penikmat lagu Rhoma Irama yang judulnya “Begadang’ tersebut ternyata sebagian besar adalah orang yang suka begadang. Lirik lagu itu sendiri pada intinya berisi larangan agar orang tidak begadang sebab bisa merusak kesehatan. Nyatanya, penikmat lagu ini tetap saja begadang. Lagu dinikmati sebatas lagu. Pesan moralnya itu urusan belakang.

Lihatlah lagi misalnya pada lagu-lagu India atau Mandarin yang mengalami booming hingga saat ini. Tanyalah pada mereka yang menyanyikan lagu-lagu itu. Pasti atau yakinlah bahwa sebagian besar tidak tahu apa arti lagu-lagu itu. Sebab, urusan lirik kemudian menjadi tidak penting bagi konsumen lagu, ini kalau menyanyi kita anggap sebagai praktik konsumsi. Selama lagu itu dinyanyikan F4 — boyband asal Hongkong itu, konsumen yang memang ngefans dengan F4 pasti akan mencari-carinya.

Tak hanya konsumen lagu. Bahkan, ini yang kadang ironis, apa yang dilakukan penyanyi pun kontradiktif dengan lirik lagu yang disampaikan. Pada film-film India, artis yang sedang bersedih pun berjoget ketika menyanyikan lagu sedih tersebut. Klip-klip lagu Indonesia pun setali tiga uang. Meski lirik lagu yang sedang dinyanyikan adalah tentang patah hati dan semacamnya itu tadi, intinya orang yang sedang bersedih, toh penyanyi lagu itu dengan cueknya berjoged. Ini juga berlaku di panggung-panggung. Orang sedih kok menari-nari. Apa ya logis?

Bali Post Minggu, 10 Agustus 2003

Leave a comment

Filed under Uncategorized