Monthly Archives: June 2005

Selalu Ada Alasan Membedakan Tiap Orang

Beberapa waktu lalu, seorang teman cerita tentang pernikahannya yang tertunda. Dia sudah kerja di bidang teknologi informasi. Jebolan Ilmu Komputer UGM, siapa sih yang akan menolak lamarannya? Selain ngrawat beberapa situs, teman itu juga kerja layout dan ngajar di salah satu universitas swasta di Bali. Artinya, secara materi dan status sosial, teman itu jelas lengkap.

Namun itu bukan modal untuk menjamin romantika yang mulus.

Dia sudah pacaran dengan ceweknya, seorang dokter –nah, kan apalagi yang kurang coba?- sejak mereka kuliah. Jadi ya sekitar tujuh tahun pacaran. Umur mereka hampir 30 tahun. Wajar kan kalo mereka sudah berniat menikah.

Masalahnya adalah, teman itu anak laki-laki satu-satunya di keluarganya. Sedangkan ceweknya anak tunggal. Di Bali, kalau pasangan seperti ini hampir seluruhnya bermasalah. Sebab tiap keluarga di Bali memerlukan pewaris. Mungkin ini di semua tempat, tapi di Bali sangat kuat. Dan pewaris itu haruslah laki-laki.

Keluarga cewek meminta agar temanku itu nyentana (baca nyentane). Artinya dia harus masuk ke keluarga cewek. Secara adat istiadat, dia pun terikat pada keluarga si cewek. Misalnya soal kewajiban ke banjar atau pura. Temanku itu, tentu saja, tidak mau. Sebab dia juga harus meneruskan keluarganya. Dia laki-laki satu-satunya. Kalau dia pergi, maka keluarganya juga tidak punya penerus. Kecuali nanti adiknya ngajak dengan laki-laki yang mau nyentana.

Singkat kata, faktor pembeda mereka adalah karena si cewek anak tunggal dan temanku itu anak laki-laki satu-satunya. Pernikahan mereka terus tertunda. Keduanya sudah sangat inging menikah. Dan tidak ada masalah dengan perbedaan itu. Namun orang tua mereka yang belum mau mengalah salah satunya.

Kenyataan ini yang mengusik pikiranku. Selalu saja ada faktor pembeda bagi pasangan yang mau menikah. Aku bercermin pada mereka. Kasusku sama. Cuma faktor pembeda antara aku dan cewekku adalah agama, dan suku. Aku Muslim, meski gak taat-taat amat J. Dia Hindu, meski juga jarang sembahyang J. Aku Jawa. Dia Bali. Tidak mudah menjalaninya. Toh, kami bisa berjalan hingga saat ini. Dan, kedua orang tua kami akhirnya bisa menerima meski awalnya susah juga.

Senula orang tua kami lebih suka kalau milih pasangan yang sama saja. Misalnya sama-sama muslim, atau sama-sama Bali. Nyatanya toh yang sesama Bali pun bukan berarti bisa mulus hubungannya.

Atau yang sama-sama muslim. Aku inget juga teman di kampung. Mereka sama-sama muslim. Toh, bukan berarti urusan mereka lancar. Sebab tetap saja ada faktor pembeda. Satunya Muhammadiyah. Satunya NU. Walah, susah banget sih dengan urusan identitas.

Kakak pertamaku dulu pun begitu. Orangtuaku yang Muhammadiyah thothok, tidak mau berbesan dengan orang NU. Nyatanya kakakku tetap menikah. Dan orangtuaku juga bisa menerima biasa akhirnya.

Intinya pasangan dengan faktor persamaan apa pun, selalu saja ada faktor yang membuat mereka berbeda. Kalau bukan cinta yang menyatukan perbedaan iu, lalu apalagi?

HATJING!

32 Comments

Filed under Uncategorized

Pilkada Langsung Bukan Segalanya

Beda dengan pemilu legislatif atau pemilihan presiden tahun lalu, aku merasa lebih semangat pas Pilkada hari ini. Sebagai warga Denpasar yang baik, dengan senang hati aku juga ikut milih. Gak tau ya, rasanya beda aja. Mungkin karena ini milih Walikota, bukan presiden, jadi kesannya lebih deket secara psikologis. Padahal tiap Pemilu sebelumnya aku gak pernah milih. 🙂

Di Bali, hari ini sekalian ada lima daerah yang melakukan Pilkada yaitu di Denpasar, Tabanan, Badung, Bangli, dan Karangasem. Pagi kemarin aku ikut milih di TPS Banjar Antap, Desa Panjer, Kecamatan Denpasar Selatan. Lumayan lancar, meski sempet toleh-toleh. Maklum gak pernah nyoblos sebelumnya. Begitu nyerahin kartu pemilih, dapat kartu suara, coblos, lipet, masukin kotak suara. Memang bener kata Megawati, gak sampai lima menit untuk nyoblos. Sangat simpel. Tapi konsekuensinya itu, lima tahun..

Lima tahun lagi itu yang memang perlu dipikir. Coblosan yang hanya lima menit itu memang berarti. Sebab, sebagai warga negara, mereka yang memilih telah dilibatkan untuk menentukan siapa pemimpin mereka yang layak selama lima tahun. But, Pilkada langsung bukanlah segalanya. Masih banyak agenda setelah itu sebagai bentuk keterlibatan warga.

Simpel aja. Bagaimana misalnya nanti, kami yang udah milih itu juga dilibatkan dalam penyusunan anggaran, atau perencanaan pembangunan kota, atau diberikan akses informasi tentang kota. Intinya adalah warga kota dilibatkan tidak hanya saat milih pemimpin tapi juga merencanakan jalannya sistem itu.

Ini yang juga harus segera diwujudkan!

1 Comment

Filed under Uncategorized

Solidaritas untuk Pengusutan Pembunuhan Munir

-ngambil dari sebuah milis. barangkali ada yang mau SMS ke SBY-

Teman-teman semua,

Pengungkapan kasus pembunuhan politik terhadap Munir saat ini menghadapi ujian yang berat. Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta (TPF) dan Polri saat ini baru sampai pada proses penahanan seorang pilot Garuda beserta 2 orang crewnya.

Mandat kerja Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan politik terhadap Munir, yang dibentuk oleh Presiden RI melalui Keputusan Presiden, akan berakhir pada tanggal
23 Juni 2005. Berakhirnya masa kerja tahap kedua TPF tersebut sangat merisaukan para pendamba keadilan dan demokrasi di negeri ini. Mengingat dalam 3 bulan masa kerjanya, TPF bisa dikatakan telah gagal menembus benteng "privilege" person-person kunci di tubuh Badan Intelijen Negara (BIN). Padahal dari berbagai data dan
hasil penyelidikannya, TPF serta Polri menemukan adanya (indikasi kuat) hubungan antara para tersangka yang kini ditahan dengan beberapa personil di institusi tersebut.

Apabila proses penyelidikan tersebut terkunci (berhenti) hanya pada para tersangka tersebut, maka bisa dipastikan pengungkapan kasus ini akan gagal. Tidak ditemukannya motif politik serta kurangnya alat-alat bukti akan meringankan ayunan palu hakim
dipersidangan dalam memvonis bebas para tersangka. Sekali lagi, Indonesia makin dikenal masyarakat internasional sebagai negara dengan kasus pelanggaran HAM paling banyak, namun yang paling sedikit menghukum para pelaku. Dan hal ini tentu saja menjadi ironi dari statemen Presiden SBY yang mengatakan bahwa, "Pengungkapan kasus pembunuhan Munir adalah salah satu indikator dari kemajuan proses demokratisasi dan
penghargaan HAM di Indonesia".

Untuk itu, saya meminta kerelaan teman-teman mengirimkan SMS kepada presiden SBY sebagai upaya untuk mengingatkan beliau pada tanggungjawabnya tersebut. Berdasarkan perkembangan penyelidikan yang telah dicapai, maka kita tetap membutuhkan adanya TPF
yang kredibel dengan struktur dan kewenangan yang lebih kuat dalam mengawal proses pengungkapan kasus pembunuhan politik terhadap Munir. Teman-teman bisa menyusun sendiri redaksional dari pesan singkat desakan tersebut.

SMS bisa dikirim ke nomor 9949 atau +629949 (untuk pengiriman dari luar negeri). Tolong pesan ini Anda forward ke teman lainnya.

Terima kasih,

In Solidarity

Raharja Waluya Jati

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Gizi Generasi Televisi

-opini favorit minggu ini. keren banget-

Gizi Generasi Televisi

Oleh Tan Shot Yen

SAYA terenyak ketika sopir taksi yang saya tumpangi mengeluh. Uang dua puluh ribu rupiah yang dibawanya pulang habis dalam sehari untuk jajanan kedua anaknya yang masih di bangku SD. Lebih mencengangkan lagi ketika ia menyebutkan berbagai merek jenis makanan kemasan yang menjadi favorit anak-anak itu. Mereka sudah tidak pernah mau menyentuh sayur kecuali dipaksa dan diancam.

Aneka rasa makanan dalam aneka kemasan menawan merambah warung-warung kecil. Paha ayam dan irisan sayur hijau-cukup berupa gambar pada bungkusnya-serta pernyataan “diperkaya oleh mineral dan zat gizi” ampuh mendongkrak nilai jual. Padahal, kompleksitas kebutuhan gizi manusia jelas melampaui angka yang tertera. Pernah, seorang artis cilik dalam iklan televisi menepis buah jeruk asli demi dagangan terbarunya: serbuk minuman artifisial beraroma jeruk.

Masalah busung lapar pertama-tama adalah masalah ketidakadilan ekonomi. Situasi ini diperparah dengan terpesonanya pemerintah oleh investasi pelbagai produk industri pangan. Bukan hanya abai terhadap tanggung jawabnya menyediakan pangan bersubsidi bagi kaum miskin dan memberikan pendidikan pangan yang adil serta mendasar (baca: bebas kepentingan investasi produk industri pangan), pemerintah juga tidak lagi mencermati hasil-hasil penelitian tentang korelasi produk teknologi pangan dan dampaknya di kemudian hari.

Kenyang semu

Saat ini pemenuhan kebutuhan gizi manusia sehat bersumber dari alam tergilas keberingasan investasi industri pangan. Pasar banjir oleh refined foods dengan segala risikonya, termasuk meningkatkan penyakit kardiovaskuler, menekan daya kekebalan tubuh, mencetuskan reaksi peradangan tersembunyi dan rasa sakit kronis. Sudah bertahun-tahun Barry Sears-pakar biokimia dan nutrisi-menjadi musuh bebuyutan industri pangan Amerika Serikat karena pemaparannya.

Dengan minimnya pengetahuan tentang makanan sehat, bagaimana masyarakat dapat membuat pilihan bijak? Terpesona akan tayangan iklan makanan, bangsa yang kini lebih mahir menonton televisi ketimbang membaca menjadi ladang subur bagi tumbuhnya “makanan dagang”. Seorang ibu akan merasa lebih berdosa bila tak mampu membeli susu dan biskuit anjuran iklan ketimbang memberi dua potong tempe dan sepiring sayur bayam yang bisa dikonsumsi tiga kali sehari. Pernah seorang ibu miskin bersikukuh memberikan susu kaleng kepada anak balitanya. Jadilah satu sendok teh bubuk susu terlarut dalam dua ratus cc botol bayi!

Tidak ada kebijakan dan intervensi pemerintah saat ini yang sanggup membendung komersialisasi pangan menyesatkan, bahkan pantas dituding sebagai salah satu penyebab malnutrisi. Minimnya informasi mengenai sumber pangan sehat yang terjangkau semua lapisan jelas mencerminkan kekalahan food for health dalam perang melawan food for commerce yang tengah mengambil korban rakyat jelata.

Malnutrisi tidak lagi melanda mereka yang sungguh-sungguh miskin, tetapi juga yang miskin pengetahuan kesehatan sebenarnya, yang sirna oleh simulacra kecanggihan sains. Kita sibuk mencari virus baru atau mutasinya sebagai penyebab penyakit yang tiba-tiba mencuat menjadi perhatian massa. Mengapa tidak mencermati pertanyaan ini: Bagaimana daya tahan tubuh manusia diserang?

Bukan suatu kebetulan bahwa dalam rentetan penyakit virus-sebutlah SARS, flu burung, demam berdarah dengue, polio-ujungnya mendapat gong besar: busung lapar. Daya tahan kekebalan tubuh menderita secara kronis hingga anjlok ke titik paling rendah-dan saat itu serangan penyakit mendera.

Sirnanya keprofesian

Kita berada di puncak kejenuhan antara keserakahan dalam bentuk komersialisasi dan tuntutan alam yang senantiasa menghendaki kesetimbangan serta harmoni. Simulacra menggiurkan tengah “mengenyangkan” perut bangsa ini, dari lapisan massa yang “kurang berpendidikan” hingga mereka yang berprofesi pemberi jasa pelayanan masyarakat.

Berbagai masalah kesehatan tidak lagi ditangani melalui cara berpikir rasional yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemenuhan prosedur menjadi jauh lebih utama. Padahal, begitu banyak prosedur masih bertabrakan dengan berbagai kepentingan. Wajar jika seorang ibu perlu membawa pulang bayinya yang busung lapar dari rumah sakit hingga mati di rumah karena biaya rumah sakit sudah tak tertanggungkan. Rumah sakit dalam hal ini selalu tampak “benar”. Mereka punya surat sakti: tanda tangan pasien menolak rawat atau “pulang paksa”. Apa pun alasannya. Sistem pelayanan kesehatan dan pemerintah pun terbebas dari tanggung jawab moral.

Kepentingan komersial meluluhlantakkan aspek moral dan pelayanan yang bersifat lege artis (sesuai dengan keprofesian). Privatisasi Rumah Sakit Umum Daerah adalah fenomena terpentalnya pemerintah sebagai penyelenggara public service dalam kinerja infrastruktur, untuk lalu terperangkap dalam laissez faire. Horornya: privatisasi dianggap dengan sendirinya “meningkatkan kualitas”. Caranya, biarkan rumah sakit saling bersaing termasuk menjejalinya dengan alat kesehatan berteknologi canggih yang mengakibatkan biaya pelayanan melonjak. Ke mana akan pergi si miskin busung lapar?

Samsi Jacobalis, mantan Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, pernah mengatakan, sains makin didominasi teknologi, sedangkan teknologi makin didominasi motivasi mencari laba. Artinya, sains dan teknologi cenderung menjadi alat kekuasaan bisnis global. Adakalanya teknologi canggih digunakan bukan atas indikasi medik yang mutlak, melainkan demi pengembalian modal investasi alias kredit bank yang dpergunakan membeli alat itu.

Dalam “RS Indonesia Tak Siap Bersaing” (Kompas, 22/12/2004) tersingkap lebar testimoni memalukan. Nyawa manusia dipertaruhkan demi kepentingan-kepentingan yang sulit diterangkan.

Kriminalitas komersialisasi

Menangani busung lapar secara terpadu adalah satu hal. Tetapi tanpa keseriusan pendidikan yang adil tentang pangan sehat plus murah, terutama tanpa ketegasan pemerintah menangani komersialisasi pangan, ancaman malnutrisi tidak berhenti. Pemberdayaan masyarakat agar mampu menentukan dengan bijak kelangsungan hidupnya adalah kewajiban pemerintah yang tak bisa dielakkan. Bukan hanya menggratiskan biaya perawatan. Jika sehat, masyarakat tidak perlu rumah sakit. Tentu saja ini mengandaikan media bersedia mendidik ulang selera pasar dan gaya hidup.

Sumber protein bayi yang terbaik bukan biskuit dengan kemasan bergambar bayi montok kebule-bulean. Makanan instan yang didistribusikan saat bencana alam bukan dewa penolong modern ketimbang dapur umum zaman lauk tempe dan sayur asem. Bangsa ini memang sedang diracuni komersialisasi teknologi pangan. Hedonisme rasa membungkam ratapan tubuh yang haus makanan sehat.

Komersialisasi di era global adalah soal biasa. Tetapi ketika melibatkan jenis pangan dan pelayanan kesehatan paling dasar, apalagi menyangkut hidup mati orang, komersialisasi adalah sebuah kriminalitas.

Tan Shot Yen Seorang Dokter, Peserta Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta

1 Comment

Filed under Uncategorized

Satu per Satu Mereka Berlalu…



“Temen-temen seangkatanku udah pada nggak ada, Ton. Bulan ini dua orang lagi mati,” katanya padaku pagi tadi. Kami ketemu di Lapangan Puputan Badung, Denpasar setelah ikut jalan santai dalam rangka peringatan hari anti madat internasional. Teman itu bernama Yeni. Lebih pas sebenarnya kalau dia kakakku. Umurnya, perkiraaanku, 35 tahunan. Aku mengenalnya sekitar dua bulan lalu. Dia salah satu pemakai heroin dengan jarum suntik. Bahasa kerennya, injecting drug user (IDU). Saat itu aku butuh IDU untuk film dokumenter.

Yeni pakai heroin sejak 1994. Awalnya dia kaya, warisan dari bekas suaminya. “Aku punya mobil, rumah, dan banyak uang,” katanya. Lalu oleh seorang teman, dia dirayu untuk pakai heroin. Cerita klasik. Berawal dari cuma-cuma dan coba-coba. Lalau pada satu titik, dia tidak bisa menghentikan coba-coba itu. Dia mulai kecanduan dengan heroin. Dan dia tidak bisa dapat barang itu gratis. Satu per satu barangnya dijual. Tak ada lagi mobil, rumah, motor, dan barang mewah lain.

Setelah kenal, kami mulai sering ngobrol. Dia sering cerita bagaimana rasa sakitnya karena tidak pakai heroin. Juga bagaimana begitu besar keinginannya untuk berhenti. Saat ini dia ikut terapi methadone. Pelan-pelan dia mulai bisa mengurangi dosis pemakaian. Meski kadang masih juga nyuntik.

Lalu tadi pagi kami ketemu lagi. Aku godain karena dia habis baca Komitmen Anti-Narkoba. Dia baca empat poin komitmen. Dua komitmen pertama dia baca satu: pemakaian narkoba adalah tindak kriminal. satu -seharusnya dibaca dua-: bisa tertular HIV/AIDS. Tiga empat gak dia baca. “Aku lagi sakaw, Ton,” akunya. Lalu setelah itu dia cerita tentang dua temannya yang mati bulan ini.

“Mereka teman-teman terbaikku. Dari dulu aku sudah bilang agar mereka ikut terapi. Tapi mereka tetep aja nggak mau. Mereka tetep nyuntik dan pakai jarum suntik bareng. Sekarang mereka sudah gak ada lagi.”

Yeni cerita panjang. Tiba-tiba air mata meleleh di pipinya. Aku diam.

3 Comments

Filed under Uncategorized

Soal Hal Sensitif -Kasta- di Bali

Siang tadi ikut diskusi di Uluangkep, lembaga penguatan desa adat di Bali. Sebenarnya aku datang karena gak enak aja Lode, cewekku, datang sendiri. Jadi ya ga papa nemenin. Toh yang ngadain juga teman-teman sendiri.

Diskusinya seputar kasta di Bali. Ide ini datang dari Made Kembar Karepun, salah satu tokoh tua di Bali. Made pernah jadi bupati Gianyar. Saat ini juga masih aktif di Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Selain itu juga aktif bicara di forum tentang desa adat dan semacamnya.

Dalam usia senja, perkiraanku sekitar 70 tahun, Pak Made sedang membuat buku tentang kasta di Bali. Untuk mendapat masukan dari masyarakat, dia mengundang anak-anak muda membahas draft buku itu. Nah, diskusi tadi siang itu ya seputar itu. Dan, bagiku, diskusi itu sangat menarik. Jarang-jarang aku bisa diskusi dengan tokoh tua di Bali yang pikirannya masih begitu kritis. Dulu ada Prof Ngurah Bagus, yang kadang-kadang masih bersedia diajak diskusi. Tapi beliau sudah wafat beberapa bulan lalu.

Di diskusi itu aku malah baru tahu bahwa kata “KASTA” ternyata berasal dari bahasa Portugis. Sedangkan “ADAT” dari bahasa Arab. Padahal dua kata ini sudah jadi bahasa yang begitu identik dengan Bali dan seolah-olah bahasa Bali asli. Ternyata…

Itu hanya hal yang mungkin sepele. Ada soal yang lebih menarik lagi bagiku yaitu soal konflik, Made Kembar Karepun lebih menyukai kata polemik, antara orang berkasta dengan yang tidak berkasta, ada juga yang menyebutnya jaba. Mereka yang berkasta ini misalnya yang nama depannya Ida Bagus, Cokorda, Anak Agung, dan semacamnya. Sedangkan yang tak berkasta ini ya yang bernama Bali pada umumnya seperti Wayan, Made, Komang, dan Ketut.

Konflik antara orang berkasta dengan jaba ini ternyata terus menerus terjadi, secara diam-diam maupun terbuka. Salah satu contoh terjadi pada 1920an. Saat itu kelompok berkasta membuat majalah Bali Adnyana sedangkan jaba membuat Surya Kanta. Made ngasi contoh-contoh kutipan isi dua terbitan itu. Melalui media massa, dua kelompok ini saling menyerang misalnya pandangan soal pendidikan dan bahasa.

Kelompok berkasta, pada saat itu tidak peduli dengan pendidikan karena mereka otomatis jadi pejabat. Adapun kelompok jaba getol belajar agar sepadan dengan yang berkasta. Soal bahasa, bagi yang berkasta bahasa harus disesuaikan dengan tingkat kasta. Yang berkasta boleh berkata kasar pada orang jaba. Sedangkan jaba harus berbahasa halus pada yang berkasta. Bagi jaba, bahasa haruslah egaliter, tak ada yang lebih rendah ataupun lebih tinggi.

Sayangnya Pak Made terlalu hitam putih melihat polemik antara dua kelompok ini. Seolah-olah kalau yang berkasta sudah pasti hitam, sedangkan jaba pasti putih. Padahal aku yakin tidak begitu sepenuhnya.
Polemik ini, kata beliau, masih ada hingga saat ini. Meski generasi muda sudah banyak yang tak peduli soal ini toh orang-orang tua masih saja meliaht ini sebagai masalah. Aku jadi inget soal pemilihan kepala daerah (Pilkada) di enam kabupaten/kota di Bali 24 Juni nanti. Jangan-jangan Pilkada itu juga bagian dari rebutan antara yang berkasta dengan jaba ini. Buktinya, simbol-simbol puri itu begitu vulgar terlibat dalam pilkada.

2 Comments

Filed under Uncategorized

Setelah Terbuka Lalu Apa?

F**k Doctor! F**k Discrimination! Begitu SMS yang kudapat dari seorang teman. Teman itu dokter, tapi SMS itu bukan ditujukan pada dia tapi pada koleganya.

SMS hujatan, tanda marah, tanda kecewa itu berawal dari ditolaknya salah satu orang dengan HIV/AIDS (Odha) oleh satu dokter di Denpasar.

Odha, temenku juga, itu namanya Dhayan. Dia kecelakaan minggu pertama Mei lalu. Kaki kirinya patah dan bengkak. Meski parah, dia tidak berdarah. Abis kecelakaan, malam itu juga dia dibawa ke rumah sakit. Oleh dokter dia digips tapi ada juga alternatif untuk operasi. Pilihannya: operasi, bisa sembuh dalam sebulan tapi perlu duit banyak dan beresiko; gips, sembuh sekitar tiga bulan tapi lebih murah dan aman. Dhayan pilih tetap digips kakinya dengan alasan tidak ada duit. Untuk operasi butuh duit sekitar 9-10 juta. “Sembuh sih cepet, tapi bayar utangnya lama,” kata Dhayan setengah becanda.

Diam-diam, teman-teman lain urunan biar Dhayan bisa operasi. Tujuannya agar Dhayan bisa segera bekerja, karena dia memang aktivis penanggulangan HIV/AIDS juga, dan biar gak stress. Sebab, berdasarkan penelitian dokter, stress bias mempercepat lemahnya kondisi Odha. Karena itu teman-teman lain sepakat urunan. Duit pun terkumpul.

Pas cek kaki kedua kalinya, Dhayan bilang sama dokter bahwa dia mau operasi. Saat itu dokter yang menanganinya bilang boleh saja. Akhirnya mereka sepakat hari dan tempat. Sebelum operasi, Dhayan bilang kalau dia pernah pakai putaw. Takutnya akan berefek ketika dibius. Doker bilang ga papa. Jadilah rencana operasi itu disepakati.

Diantara Odha ada kesepakatan untuk tidak mengurangi laju penularan HIV mulai dari diri mereka sendiri. Karena itu Dhayan pun mau mengaku kalau dia positif HIV. Tapi omongan itu disampaikan melalui dokter lain yang biasa menangangi Odha. Alasannya biar lebih enak.

Pas hari H, Dhayan pun berangkat ke rumah sakit yang disepakati. Eh, ndilalah, setengah jam sebelum operasi dokter itu bilang operasi tidak jadi dilakukan. Alasannya, karena statusnya sebagai Odha, Dhayan tidak memiliki kekebalan tubuh lagi. Takutnya luka akibat operasi tidak akan bisa sembuh. Dhayan bilang bahwa dia siap dengan resiko itu. Eh, dokter tetap tidak mau. “Demi kebaikan pasien saya,” katanya.

Penolakan itu, menambah panjang daftar diskriminasi dokter pada Odha. Padahal sebagai dokter mereka telah terikat sumpah tidak akan melakukan diskriminasi pada pasien. Nyatanya diskriminasi itu terjadi juga.

Inilah yang jadi masalah. Pemerintah gembor-gembor bahwa Odha sebaiknya terbuka. Tapi kalau kemudian masyarakat belum siap dengan terbukanya Odha lalu gimana. Kalau Odha mau terbuka, seharusnya ada jaminan bahwa pelayanan medis dan lainnya pun siap menerima Odha. Nyatanya, itu belum terjadi..

Leave a comment

Filed under Uncategorized