Tag Archives: Cultural Studies

Nyepi Kok Malah Liburan

Nyepi tinggal tiga hari. Tahun ini kebetulan Nyepi pas hari Jumat. Seingetku ini sudah yang kesekian kali Nyepi barengan dengan Jumatan. Unik aja sih. Jadi meski yang Hindu melaksanakan Nyepi, yang muslim tetep bisa Jumatan. Ini pengalaman yang asik bagiku tentang bagaimana saling menghargai di tengah perbedaan. Malah kadang-kadang yang Jumatan itu ada yang sok-sokan seperti Hendro. Jadi mumpung bisa keluar pas Nyepi, dengan ajum-nya dia tidur di tengah jalan. Hehe..

Sebenarnya aku pengen Nyepi keluar Bali. Tidak tahu kenapa pengen banget main ke Alas Purwo, Banyuwangi. Rasanya asik saja menembus hutan itu naik Landrover nyebur lumpur seperti tiga tahun lalu. Kalau tidak ke Banyuwangi bolehlah melali ke Lombok menikmati ayam bakar taliwang. Tapi sayangnya niat hanya jadi niat. Keinginan ini ditunda saja deh dulu. Nanti kalau Bani sudah gede saja jalan-jalan lagi. Syukur-syukur jadi ke Bandung.

Continue reading

29 Comments

Filed under Bali, Perjalanan, Pikiran

Ketakutan yang Sengaja Diciptakan

Dua hal yang terjadi secara acak membuatku berpikir kembali tentang perlunya sebuah ketakutan diciptakan. Dua hal tersebut adalah maraknya penangkapan preman di Denpasar dan lepasnya tokoh Jaringan Islamiyah (JI) Singapura Mas Slamet bin Kastari dari pusat penahanan di Singapura. Keduanya membongkar ingatanku kembali soal terorisme.

Pikiranku hanya sebuah pikiran yang berangkat dari pesimisme juga skeptis, sebuah sikap untuk mempertanyakan sesuatu. Bertanya dan menggunakan otak kita adalah salah satu cara untuk membuat keberadaan kita terasa. Kata Rene Descartes Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada. Bagi banyak orang hal seperti ini adalah sesuatu yang naif. But, let it be..

Continue reading

18 Comments

Filed under Pikiran

Nak Jawa Belajar Bahasa Bali

Nyempal dikit dari tulisan bersambung soal perjalanan ke Flores. Tiba-tiba aku pengen nulis soal bahasa.

Jawa dan Bali itu memiliki karakter yang tidak jauh beda. Misalnya soal feodalisme. Menurutku keduanya memiliki budaya yang bertingkat-tingkat dalam interaksi, termasuk soal bahasa. Kalau di Jawa, terutama Mataraman alias Jawa Timur bagian barat daya dan Jawa Tengah bagian selatan serta Yogyakarta, masyarakatnya mengenal tingkatan dalam bahasa, maka begitu pula Bali. Berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan tingkat bahasa lebih halus dibanding dengan bahasa untuk orang yang sepantaran.

Setahuku ini berbeda dengan bahasa Melayu atau bahasa Indonesia yang tidak ada tingkatan bahasanya. Jadi kita bisa menggunakan bahasa yang sama untuk siapa saja dengan bahasa Melayu.

Continue reading

43 Comments

Filed under Bali, Daily Life, Pikiran

Rwa Bhineda di Pulau Dewata

Tadi siang ada diskusi kecil dengan Win, semeton blogger Bali yang lagi studi di Pittsburgh, Amrik sono. Obrolan via Yahoo Messenger ini bermula dari tulisan dia di blognya soal kekerasan di Bali. Win mempertanyakan apakah orang Bali sudah berubah sehingga sudah demikian akrab dengan kekerasan?

Pemicu pertanyaan itu adalah tawuran di Kuta pas tahun baru lalu. Pas pergantian tahun itu, dua orang tewas akibat tawuran di salah satu kafe. Sebatas yang aku baca di media lokal, hanya disebut tawuran. Tapi Jun, teman wartawan The Jakarta Post, menyebut itu sebagai tawuran antar-preman.

Continue reading

19 Comments

Filed under Bali, Jurnalisme, Pikiran

Rebutan Wacana di Rumah Tangga

Sebenarnya hari ini aku berniat posting tentang Bali Post. –Aduh, kok aku sentimen banget sih sama mereka?-. Tapi karena ada diskusi “gawat” di rumah pagi ini, maka aku pikir hasil diskusi atau diskusinya itu sendiri lebih menarik untuk ditulis. Kali ini soal rebutan wacana di rumah tangga.

Pagi ini, ketika aku menikmati sarapan dengan menu ayam suwir, tempe goreng, dan oseng-oseng kangkung, Lode, istriku, tiba-tiba nyeletuk, “Kenapa sih tidak banyak orang yang mau membicarakan isu dapur. Padahal kan ini isu yang penting juga. Sekali-kali kek tanya tentang bagaimana prosesnya, apa susahnya masak, bla-bla-bla.”

Intinya ada dua hal yang diprotes istriku.

Continue reading

8 Comments

Filed under Aneka Rupa, Daily Life, Keluarga, Pikiran

Ada Udang di Balik Jancuk!

Tulisan ini dibuat ketika aku sedang menunggu proses komputer di tempatku kerja part time. Entah kenapa komputer ini tiba-tiba agak lambat ketika lagi buka imel dan blogging. Jadi, daripada bengong mikir jorok, aku bikin aja tulisan ini. Kali ini soal..

–eh, sik. Aku teken Alt+Tab dulu untuk lihat apakah prosesnya sudah kelar… Kutu kupret tenyata semua masih pada muter-muter belum selesai proses.-.

Balik lagi. Sampai mana tadi? Oya, kali ini soal bahasa saja. Soalnya masih hangat. Sehangat isu global warming mungkin.

Continue reading

8 Comments

Filed under Aneka Rupa, Bali, Daily Life, Pikiran

Rambut Keriting Bukan Kejahatan!

Pas aku lagi baca koran pagi tadi, tetangga sebelah ngobrol. Suaranya agak kenceng jadi aku bisa dengar dengan jelas. Topik bahasannya soal rambut.

Ceritanya ada dua anak kecil, ponakan tetangga, yang datang ke kos. Kakak beradik. Cowoknya adik, ceweknya kakak. Si kakak rambutnya lurus, sedangkan adiknya berambut agak keriting. Lalu datang ibu, tetangga yang lain, dan bilang ke tetanggaku itu.

“Kok yang cowok rambutnya brekele.”

Continue reading

2 Comments

Filed under Daily Life, Pikiran, Uncategorized

Tidak Ada Lagi Penulis Nakal Itu..

Pagi yang melelahkan. Setelah semalem nglembur nunggu hasil Munas Golkar di Nusa Dua, pagi ini aku ingin sesuatu yang agak santai. Tidur. Denger musik. Baca hal-hal santai. Aku terlelap, lalu bangun jam 10an karena ada telpon. Minum teh hangat. Satu donat. Lumayan buat ngangetin perut.

Lalu, koran hari ini datang. “Kebetulan hari Minggu. Biasanya beritanya kan santai-santai,” pikirku. Koran pertama, Jawa Pos. Aku baca soal Munas Golkar. Berita lain lewati aja. Ini kan Minggu, ngapain terlalu serius baca koran. Untunglah ada tulisan Ki Slamteg soal My Heart Will Go On, cerita parodi ala film Titanic. Aku senyum-senyum sendiri.

Continue reading

Leave a comment

Filed under Aneka Rupa, Daily Life, Pekerjaan, Uncategorized

Menonton Akademi Fresiden Indonesia…

[tulisan ini modifikasi dari yg sebelumnya. ya, biar agak aktual dikitlah]

Cek kali cek, ternyata pemilihan presiden mendatang tidak jauh berbeda dengan Akademi Fantasi Indosiar (AFI) yang heboh itu. Selain peran politisasi tubuh, iklan untuk memperbagus kesan (image) pun turut mendongkrak popularitas calon presiden.

Tidak usah mikir yang gawat-gawat soal pemilihan presiden 5 Juli mendatang. Seperti juga tidak usah ikut menangis ketika Cindy, akademia imut-imut dari Jakarta itu dieliminasi di AFI. Sebab pilpres dan AFI memang mirip. Ada beberapa kemiripan antara keduanya. Pertama, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak lolos sebagai capres dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena alasan tidak sehat jasmani dan rohani. Seperti halnya AFI, jangan harap orang bertubuh tidak normal (kata orang Inggris sih different ability, -diffable) bisa lolos pencalonan pilpres. Politisasi tubuh itu tidak hanya pada kasus Gus Dur tapi juga pada pekerjaan sehari-hari di sekitar kita.

Continue reading

Leave a comment

Filed under Pikiran, Uncategorized

Inul dan Dunia yang Maskulin

Memperdebatkan apakah goyangan Inul Daratista itu boleh atau tidak, pada hari-hari ini jauh lebih menarik daripada mendiskusikan bagaimana para partai politik mempersiapkan calon presidennnya masing-masing untuk Pemilu 2004 nanti. Sebabnya bisa jadi karena kejenuhan terhadap hal-hal yang terlalu serius. Bisa jadi karena fenomena Inul itu sendiri memang menarik untuk diobrolin.

Inul muncul bukan oleh industri musik yang mapan. Penyanyi bernama asli Ainul Rokhmah itu sudah memiliki penggemar yang tidak sedikit ketika goyangannya belum “ngebor” TV. Inul sudah ditonton banyak orang dalam setiap penampilannya justru ketika menyanyi di pesata pernikahan, peringatan 17 Agustus, sunatan, dan hajatan-hajatan yang bisa mengundang massa. “Gerilya” Inul ini sudah sejak dilakukan sejak 1995. Dan, tidak kalah menariknya, popularitas Inul ini dilakukan melalui sesuatu yang hingga saat ini masih diharamkan dalam industri musik, VCD bajakan! Penjualannya pun di tempat-tempat umum semacam terminal, pasar, bahkan kapal penyeberangan Gilimanuk-Ketapang.

Continue reading

Leave a comment

Filed under Pikiran, Uncategorized