Catatan: Laporan ini adalah bahan yang aku kumpulkan untuk buku Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) tentang peta media di Bali.
Media Cetak
Meski keran demokratisasi media telah dibuka, nyatanya bisnis media di Bali tetap saja dikuasai empat pemain utama: Bali Post Group, Radar Bali, NusaBali, dan Warta Bali. Saat ini memang masih ada harian lain seperti Fajar Bali, Patroli Post, dan Koran Bali –yang konon akan terbit kembali dengan saham terbesar dimiliki wakil bupati Badung saat ini, Ketut Sudikerta. Namun tiga media itu bisa disebut hanya sebagai figuran. Sedangkan di antara empat harian utama itu Bali Post jelas masih bisa disebut sebagai raja lokal.
Dalam penawaran pemasangan iklannya Bali Post menyebut oplah mereka mencapai 100.000 eksemplar. Data ini jelas lebih besar dari data sesungguhnya karena untuk kepentingan bisnis iklan. Sebagai bandingan majalah SWA edisi 20 Agustus 2003 menulis oplah harian Bali Post mencapai 90.000 eksemplar atau senilai Rp 64,8 milyar per tahun. Sedangkan menurut penelitian Santra (2006) oplah harian Bali Post sebanyak 87.500 eksemplar pada 2006 lalu.
Besarnya Bali Post tidak bisa dilepaskan dari Ketut Nadha sebagai pendiri sekaligus pemilik modal awal. Mendirikan koran bernama Suara Indonesia pada 1948, saat revolusi bersenjata masih terjadi, jelas bukan hal mudah apalagi dilihat dari sisi bisnis. Namun Nadha bersama dua rekannya bisa membuat Suara Indonesia bertahan. Terbit dalam bentuk majalah dan dicetak handset, Suara Indonesia pun terbit tidak tentu.
Continue reading →