Tag Archives: Agama

Inclusive ashram open to all religious traditions

Features – January 24, 2008

Anton Muhajir, Contributor, The Jakarta Post, Karangasem

Students of Ashram Gandhi Candi Dasa in Karangasem regency, Bali, have to practice their spiritual beliefs amid the constant noise produced by the bars, restaurants and cafes that are located just a few meters away from the ashram building.

The 2008 New Year’s celebrations showed just how difficult the situation could become for them.

While others celebrated the end of the year by partying, the 13 students of Ashram Gandhi sat cross-legged, trying to enjoy a moment of silence, while embracing the coming of the new year.

They chanted the holy mantrams (Hindu’s traditional prayers) by heart. They tried hard to act as if they were not aware of the festivities outside.

The year may change but not the students and the ashram.

Established in 1976 by prominent spiritual Balinese figure, Gedong Bagoes Oka, Ashram Candi Dasa — located in a part of Bali popular with tourists — is now the headquarters for two other ashrams: the Ashram Gandhi Vidyapith Denpasar, which was established in 1996 and the Ashram Gandhi Vidyapith Yogyakarta, established in 1997.

Ibu Gedong, as she was familiarly known, was an ardent activist for interfaith dialogue activities.

Many of Indonesia’s well-known religious figures came to the ashram when Ibu Gedong was running the place. Former president Abdurrahman Wahid, or Gus Dur, was one of the frequent attendees.

Even though an ashram is meant to be a place to learn about Hinduism, Ibu Gedong imposed a totally different set of rules, permitting others with different religions, or sometimes also people with no religions, to learn and live in the ashrams.

Besides religious teachings, the ashrams have also taught other skills needed in life, such as embroidery, craftsmanship and farming.

I Nyoman Sadra took the lead over the ashrams after Ibu Gedong passed away in 2002. He was one of Gedong’s first batch of students and also a former member of the Sarvodaya International Trust, a Bangalore-based international organization that aims to follow Gandhi’s way of life.

Sadra has also acknowledged that not all the students come to the ashram for spiritual reasons. Many of them do so simply because they cannot afford to go to school.

I Ketut Dharma Saputra is one of them. The 15-year old is the son of a poor farmer from Gianyar. His neighbor brought him to the ashram after hearing the ashram provided free schooling for its students. Ashram Gandhi gives educational assistance to all the 13 students who live in the ashram.

“We give them educational assistance from junior high school to university,” Sadra said.

He added that they had also built a kindergarten, which now has around 30 students. The learning process continues after school as these students still have to learn and practice spiritual and religious subjects in the ashram at night.

“It feels very awkward at first, but we learn to live with it,” Dharma commented on the obligation for students to practice religious teachings.

Unlike their peers, who are spoiled by television, Play Station and junk food, these teenage students eat no meat and must practice a modest way of life.

But life, however modest, requires money.

This fact has created confusion for Sadra as the ashram has no fixed income. The ashram has chosen not to get directly involved in the commercial world and this fact leaves them with no choice but to rely on donations and the savings accumulated during Ibu Gedong’s lifetime.

“Actually we have eight cottages that function as tourist accommodation in the compound, but since we don’t offer anything but a tranquil atmosphere, tourists rarely pick this place,” he said.

He realized that relying on the savings was not the best choice because the momentum of life at the ashram would flag once it was gone.

“I don’t want to beg for donations simply because Ibu Gedong did not do that,” Sadra said.

Published in The Jakarta Post

Leave a comment

Filed under Bali, Perjalanan

Mengawali Tahun dengan Puja

Puja pagi mengawali tahun baru 2008. Ketika hari masih gelap dan orang-orang mungkin masih terlelap, kami duduk bersila di ruang belakang gedung pertemuan. Bale puja yang biasa digunakan untuk berdoa agak basah karena hujan yang mengguyur semalam. Udara pun masih lembab. Dingin.

Sekitar 15 menit sebelumnya aku sudah ke tempat itu. Kadek Dian, koordinator murid-murid di ashram, semalam bilang puja pagi akan dimulai pukul 5. Tapi ketika aku ke sana pukul 5 pagi itu, belum ada satu orang pun. Aku lalu kembali ke kamar ashram di lantai dua gedung Taman Kanak-kanak. Aku kembali merebahkan badan, menarik selimut, lalu berbaring sambil melihat Bani dan Bunda di kasur sebelahku.

Continue reading

11 Comments

Filed under Bali, Daily Life, Keluarga, Perjalanan

Aneka Rupa Satu Agama

Gara-gara tulisan sebelumnya, aku jadi ingin nulis soal agama lagi. Kali ini soal bagaimana sih kehidupan beragamaku, atau keluarga besarku. Ini masih oleh-oleh dari Lebaran kemarin.

Hmm, mulai dari mana ya?

Dari keluarga besar saja deh. Keluarga besar ini merujuk ke keturunan kakek nenek kami. Meski tidak formal, kami biasa nyebut keluarga kami sebagai Bani Taqrib alias keturunan Taqrib, nama kakekku yang punya anak lima orang. Anak pertama dari lima anak ini, alias pamanku yang paling tua, sudah meninggal ketika aku masih kecil. Jadi aku tidak terlalu mengenalnya. Empat anak lain, di mana ibuku adalah yang paling tua, masih segar bugar dan tinggal di desa merana yang sama.

Kehidupan beragama keluarga besar kami cukup unik. Kakek nenek kami termasuk tokoh agama di Mencorek, desa kecil nan panas di pesisir utara Lamongan, Jawa Timur, tempat kami tinggal. Buktinya pada saat itu mereka pemilik satu-satunya langgar, tempat orang belajar agama, di desa kami. Namun, anak cucu mereka justru sering jadi pembangkang, seperti halnya mereka. Continue reading

4 Comments

Filed under Aneka Rupa, Keluarga, Pikiran

Satu per Satu Mereka Tertipu

Tidak banyak yang berubah ketika aku mudik Lebaran tahun ini. Kampungku ya tetep saja kampung dan udik. Kalo bukan kampung, pasti namanya bukan pulang kampung. Terus kalau bukan udik juga pasti namanya bukan mudik. :))

Meski tidak seperti tiga empat tahun lalu, pluputan -ritual berkunjung dan minta maaf ke keluarga- bersama sepupu-sepupu tetap mengesankan. Tapi ya pelan-pelan semangat itu makin hilang. Mungkin karena kami makin tua: kali ini bahkan sudah empat orang yang punya anak, termasuk aku.

Kami termasuk keluarga besar di kampung kecil itu. Dan, kami semua menyebar: Malang, Surabaya, Ponorogo, Lamongan, Denpasar, Jakarta, Yogyakarta, Riau, Malaysia. Maka Lebaran jadi waktu kami bertemu dan membagi cerita.

Di antara semua riuh rendah kami berbagi itu, ada satu yang paling membekas di otakku. Continue reading

1 Comment

Filed under Aneka Rupa, Keluarga, Pikiran

Gimana Kalau Dunia Nyepi? Sehari Aja..

Nyepi udah dua hari lalu. Meski telat, tetap saja selamat melaksanakan catur brata penyepian untuk yg ngrayain.

Ini Nyepi pertama setelah married. Biasanya aku pilih keluar Bali kalo ada waktu, dan duit tentu saja. Kali ini di rumah aja. Berdua sama nyonya.

Sehari menjelang Nyepi, namanya Pengerepukan, aku ketawa2 sendiri ngeliat anak2 kecil semangat banget bawa ogoh2. Ogoh2 tuh patung besar berwujud raksasa jahat. Tapi sekarang wujudnya bisa macam2. Taun ini ada berwujud anak punk. Tahun 2003 lalu malah ada yang berwujud Amrozi. :)) Ya, sama jahatnya lah dia sama betarakala. Cuma kalo anak punk dianggap jahat juga, ah, itu mah setereotype.

Continue reading

1 Comment

Filed under Bali, Daily Life, Pikiran, Uncategorized

RUU APP yang Begitu Menggelisahkan

Akhirnya bisa juga posting. Udah sejam buka2 blogspot ga bisa2 juga. Syukurlah akhirnya bisa.

Minggu2 ini melelahkan secara fisik+psikis. Minggu lalu liputan keluar Denpasar terus: Karangasem, Klungkung, Negara. Lumayan jauh2 lagi. Udah gitu liputan belum kelar tapi udah ada tugas lagi, dan kerjaan lain. Di rumah, ngurus istri hamil juga jadi beban pikiran meski ga berat2 amat. Tapi ya tetep aja kepikiran.

Lalu sekarang buka milis pantau-komunitas@yahoogroups.com. Salah satu yang menarik bagiku adalah posting dari Fauzan Al-Anshari, orang Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dia posting somasi terhadap penolakan Bali pada Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Poinnya antara lain: bahwa alasan pariwisata sebagai penolakan pada RUU APP adalah hal yang naif, secara substansial pakaian adat Bali juga sudah menutup aurat sehingga tak bertentangan dg isi RUU APP, dan ancaman Bali memisahkan diri dari Indonesia kalau RUU ditetapkan merupakan bentuk tirani minoritas dan arogansi bernuansa SARA.

Continue reading

2 Comments

Filed under Pikiran, Uncategorized

Wisata Gua di Kota Tua

-oleh2 pas liburan lebaran lalu-

Khusni Alhan, 38 tahun, harus merunduk ketika memasuki salah satu celah kecil dalam gua. Celah seluas sekitar 50 cm x 30 cm tersebut hanya cukup untuk satu orang. Karena itu Alhan harus masuk terlebih dahulu baru kemudian anaknya, Rizqy Muhammad Farhan, 2 tahun. Setelah melewati celah kecil tersebut bapak dan anak warga Duren Sawit, Jakarta Timur tersebut sampai di sebuah ruangan seukuran sekitar 2 m x 4 m setinggi 2,5 m. Gua kecil di dalam gua tersebut bernama Pasepen Kori Sinandhi. Hingga saat ini, kadang-kadang ada orang bermeditasi di dalam gua kecil tersebut. Karena itulah disebut pasepen yang berarti tempat bertapa (meditasi).

Pasepen Kori Sinandhi hanya salah satu gua kecil di dalam Gua Akbar. Gua yang ditemukan pada 1998 ini merupakan gua terbesar di Tuban, Jawa Timur, sekitar 100 km dari Surabaya, ibukota Jawa Timur. Melalui jalur darat perlu waktu sekitar 2 jam. Tuban merupakan kota tua di bibir pantai utara Jawa Timur. Karena letaknya ini, pada 1275, Tuban sudah menjadi pelabuhan bagi saudagar Cina yang datang ke Jawa.

Continue reading

2 Comments

Filed under Aneka Rupa, Keluarga, Perjalanan, Uncategorized

Lebaran Meriah Harga Termurah. Alah-alah..

Hari-hari ini iklan soal lebaran memenuhi berbagai tempat. Koran, TV, radio, baliho, kampus, perempatan, sekolah, apalagi mall. Denpasar pun tidak ketinggalan. Berbagai tempat dipenuhi iklan-iklan tersebut. Misalnya perempatan Jl Raya Puputan-Jl Sudirman, perempatan Jl Diponegoro-Jl Teuku Umar. Puluhan spanduk soal lebaran, mulai dari angkutan, pakaian, atau hotel memakai kata lebaran. Di berbagai sudut Denpasar dipenuhi spanduk-spanduk itu.

Memang tidak hanya hari-hari ini, sih. Biasanya juga banyak. Malah bagiku kadang keliatan merusak kota. Maka, kalo Bali adalah Pulau Seribu Pura, maka Denpasar adalah Kota Seribu Spanduk. 🙂

Barusan lewat Jl Sudirman. Dekat lampu merah perempatan jalan ini ada dua mall besar, Matahari dan Robinson. Keduanya tidak mau ketinggalan memasang spanduk besar, sekitar 5 m x 3 m. Matahari memasang spanduk hijau besar bertuliskan, “Sambut Lebaran dengan Bergaya dan Diskon Istimewa.” Sedangkan Robinson memasang spanduk merah, “Lebaran Meriah, Harga Termurah. Diskon hingga 75%” Juga ada puluhan spanduk lain di dua mall tersebut.

Continue reading

Leave a comment

Filed under Daily Life, Pikiran, Uncategorized

(Katanya) Tidak Ada Paksaan dalam Beragama?

Puasa Ramadhan udah separuh jalan. Ada beberapa yang mengusik pikiran dan menarik jadi catatan. Paling tidak menurutku.

Pertama soal sweeping tempat hiburan. Ternyata bener terjadi. Sekelompok massa yang mengaku sebagai Laskar Mujahidin Islam di Surabaya dan Jakarta men-sweeping bar, kafe, dan tempat (yang menurut mereka) maksiat.

Menyedihkan! Kenapa masih saja ada sekelompok orang yang merasa berhak menyalahkan orang lain, dan bahkan menghukumnya dengan tindakan semena-mena. Kalau toh ada orang tetap berbuat maksiat, tanpa mengganggu orang yang sedang beribadah, kenapa harus diperlakukan seperti itu. Toh, katanya tidak ada paksaan dalam beragama.

Continue reading

Leave a comment

Filed under Pikiran, Uncategorized

Selamat Datang Bulan Penuh Diskon!

Hari ini mulai puasa wajib Ramadhan. Kalau soal meningkatkan iman taqwa dan tetek bengeknya, biarlah itu diurusi orang-orang alim. Kalau aku ikut ngasih komentar tentang itu, gawat juga kan. Bisa-bisa Aa’ Gym dapat saingan. Padahal dia lagi moncer-moncernya jadi ikon orang beriman (dan sukses berbisnis) di Indonesia. 🙂

Urusanku, biarlah soal yang sepele-sepele saja. Iklan, hiburan, berita..

Continue reading

Leave a comment

Filed under Daily Life, Pikiran, Uncategorized