-tulisan lepas di Media Indonesia. Dimuat Senin, 20 November lalu-
Bob Monkhouse, Membagi Nilai Plus pada Pecandu Narkoba
Puluhan pecandu dan mantan pecandu narkoba sibuk berdiskusi Sabtu siang lalu di Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba). Mereka membicarakan upaya agar injecting drug user (IDU) atau pengguna narkoba suntik dan mantan IDU juga diperhatikan hak asasi manusia (HAM)-nya. Mantan IDU maupun IDU aktif itu juga sedang mendata bentuk-bentuk dan pelaku pelanggaran HAM di kalangan IDU. Tujuannya agar tak ada lagi stigma dan diskriminasi pada IDU.
Di salah satu ruangan, di tempat yang sama, Bob Monkhouse sedang sibuk dengan laporan kegiatan Yakeba. Kadang-kadang, Bob turut dalam diskusi dengan pecandu dan mantan pecandu narkoba lain. Kesadaran bahwa IDU juga punya HAM itu tak bisa dilepaskan juga dari peran Bob Monkhouse, Direktur Yakeba tersebut.
Pengalaman sepuluh tahun di bawah jerat ketergantungan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (NAPZA) membuat pria kelahiran Melbourne, 29 Maret 1941 ini sadar bahwa pecandu perlu orang lain untuk berhenti. Dia kemudian mendirikan Yakeba, tempat rehabilitasi ketergantungan narkoba paling tua di Bali.
Awalnya dia datang ke Bali untuk berlibur pada 1974. Karena jatuh cinta pada keindahan Bali, dia berniat tinggal selamanya di Bali. Keinginan itu membuatnya tak segan kerja keras untuk bisa beli tanah. Dia pernah jadi dosen bahasa Ingris di salah satu universitas di Bali, pernah jadi karyawan galangan minyak di Kalimantan, hingga membuat usaha hotel melati di Tabanan, Bali. Namun narkoba yang dikenalnya sejak 1987 membuatnya harus jatuh bangun.
Seperti pecandu lain, semula dia hanya mencoba. Namun idiom sekali terlalu banyak, seribu tak pernah cukup bagi pecandu memang benar. Bob mengalami ketergantungan pada narkoba. Hingga pada satu titik, dia merasa tak berguna sama sekali karena kecanduannya. Dia merasa melakukan sesuatu yang sia-sia.
Bagi Bob, titik itu tidak untuk disesali. Tapi dijadikan bahan pelajaran bagi mereka sendiri dan orang lain. Bahwa hidup tidak hanya berhenti pada satu titik. Ada titik lain bernama perubahan. Hidup sebelum menjadi pecandu adalah dunia normal. Hidup pada saat jadi pecandu adalah dunia adiksi. Dan, hidup setelah pulih adalah hidup lebih dari sekadar normal. Bob menyebutnya Dunia Normal+. “Plusnya karena kami punya pengalaman lebih,” katanya.
Maka setelah melewati dunia adiksi, Bob memilih membagi nilai plus hidupnya itu pada orang lain, pecandu maupun mantan pecandu. Bob pulih karena ikut Alcoholic Anonymus (AA) Meeting di Ubud pada 1997. AA Meeting adalah pertemuan sesama pecandu alkhol untuk memulihkan diri dari ketergantungan narkoba. Mantan guru ini lalu mengadakan AA Meeting dengan orang Indonesia. Sebab, dalam tiap pertemuan tak ada satu pun orang Indonesia.
Niat ini sempat dipertanyakan temannya sesama bule. Namun Bob yakin masalah ketergantungan alkohol tidak membedakan orang karena ras dan warna kulit. Bob pun mengadakan AA Meeting di Dhyana Pura Seminyak pada 1998. Semula hanya satu dua orang yang hadir hingga akhirnya puluhan orang ikut. “Dari situ saya kemudian tahu bahwa masalahnya bukan alkohol tapi narkotika,” kata Bob.
Pertemuan khusus pecandu alkohol itu lalu berubah jadi narcotic anonymous (NA) Meeting, pertemuan untuk orang-orang yang pernah punya masalah maupun masih punya masalah dengan kecanduan narkoba. Program NA meliputi 12 langkah mengatasi kecanduan narkoba. Misalnya pecandu harus punya keinginan untuk berhenti, pecandu harus jujur pada diri sendiri, dan pecandu mempunyai keterbukaan pikiran. Bagi pecandu maupun mantan pecandu, NA Meeting juga jadi semacam perawatan (maintenance) agar mereka tak kembali pakai narkoba (relapse).
Bagi Bob, kehidupan setelah pulih adalah kehidupan dua arah dan cenderung labil. Mantan pecandu bisa relapse karena masalah yang dihadapi. “Karena itu kami perlu dukungan agar tetap bersih,” kata Bob. Dukungan itu bisa dari keluarga, pekerjaan, sahabat, mantan pecandu, maupun yang lain.
Penikmat rokok kretek dan kopi hitam ini menganalogikan mantan pecandu dengan meja. Dukungan bagi mantan pecandu ibarat kaki meja. Satu dukungan sama dengan satu kaki. Kalau hanya ada satu dukungan berarti hanya ada satu kaki. Dua dukungan berarti dua kaki, dan seterusnya. Misalnya ada meja dengan tiga kaki. Kalau satu kaki patah, maka meja itu akan jatuh. Semakin banyak kaki, meja itu akan semakin kuat berdiri. “Jika satu kaki patah, masih ada puluhan kaki lain yang menopang agar meja tetap berdiri,” katanya.
Dengan semangat itulah, Bob mengembangkan Yakeba sejak 10 April 1999. Bahwa pecandu narkoba harus didukung demi pemulihannya. Karena itu, Bob bersama staf di Yakeba tak segan mengadakan kegiatan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terbesar di Bali, Kerobokan. Di tempat ini, Yakeba memberikan program pre dan post release, khususnya bagi narapidana kasus narkoba. Tujuannya mempersiapkan narapidana itu secara fisik, mental dan emosional.
Setelah napi bebas, Yakeba pun memberikan tempat mereka untuk bekerja. Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang didukung Dinas Kesejahteraan Sosial Bali, mereka membuat berbagai kerajinan. Ada coklat, lilin, dupa, hingga spanduk. Secara ekonomi mungkin tidak terlalu berhasil karena kurangnya pemasaran, namun secara emosional dan mental, program itu mungkin berhasil.
Yakeba dengan dukungan Badan Narkotika Nasional (BNN) sampai saat ini juga masih melaksanakan Halfway House, rehabilitasi bagi pecandu yang terlantar atau tidak diterima keluarganya. Sebab hingga saat ini, pecandu narkoba memang belum sepenuhnya bisa diterima, termasuk oleh keluarganya sendiri.
Melalui berbagai programnya, Bob dan Yakeba sudah memulihkan setidaknya 200 pecandu di Bali. Dari ratusan “alumni” Yakeba itu, beberapa orang kini aktif di lembaga penanggulangan narkoba maupun AIDS seperti Yayasan Spiritia, Burnet Institute, dan Indonesian HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP).
Bagi Bob, yang hingga kini masih membujang, dukungan pada pecandu dan mantan pecandu dilakukan dengan cara membagi pengalaman, harapan, dan kekuatan. “Agar mereka (pecandu dan mantan pecandu) bisa diterima kembali oleh lingkungannya, kembali produktif, dan punya tangungjawab,” ujar penikmat renang ini.
Pemulihan pecandu narkoba, lanjutnya, merupakan proses panjang memulihkan fisik, mental, emosional, dan spiritual. Paling gampang pemulihan fisik. “Cukup dengan detosifikasi selesai. Tapi itu belum cukup,” ungkapnya. Setelah mantan pecandu itu bisa mengatasi masalah fisik, secara mental dia kadang-kadang ingin pakai lagi. Maka mentalnya pun harus dipulihkan agar tak kepikiran untuk relapse. “Di sinilah perlunya dukungan orang lain untuk mengingatkan kemungkinan dia untuk relapse,” katanya.
Menurut Bob, pecandu narkoba adalah korban. Meskipun dia disangka melakukan tindak kriminal, namun sebenarnya itu karena pecandu tersebut tidak bisa melepaskan diri dari kecanduannya. Karena itu perlu pendekatan khusus pada pecandu untuk memulihkannya. “Tidak dengan memasukkannya ke penjara,” tegasnya. Memang sudah jadi rahasia umum bahwa penjara merupakan tempat narkoba paling besar dan aman di Bali.
Karena itu Bob mendorong agar pemerintah menyediakan tempat rehab bagi pecandu narkoba yang ditangkap. Persoalannya, tempat rehab pun masih susah. Atau kalau toh ada harganya sangat mahal. “Pemerintah seharusnya menyiapkan tempat rehabilitasi yang gratis. Agar penangulangan narkoba bisa lebih optimal,” ujar Bob yang juga Koordinator Jaringan Aksi Nasional Pengurangan Dampak Buruk Narkoba (Jangkar) untuk wilayah Bali ini.
Selain itu, meski dalam Undang-undang (UU) Narkotika No 22 tahun 1997 menyebut adanya hukuman rehabilitasi bagi pecandu narkoba, dalam praktiknya tidak pernah ada hakim yang menjatuhkan vonis rehab tersebut. “Seharunya hakim memberikan pilihan apakah pecandu itu mau dihukum penjara atau dihukum rehab. Jadi dia bisa menentukan jalan keluarnya sendiri,” katanya.
Bob mengaku menikmati hidupnya sekarang. Dia mengurus Yakeba dengan belasan mantan pecandu lain. Mereka saling membagi dan mendukung. Wujud dukungan itu dirasakan anak-anak sekolah melalui penyuluhan, atau pecandu dan mantan pecandu lewat NA Meeting, rehab, dan berbagai kegiatan lain. Bob terus menjadi satu di antara sekian kaki yang membuat mereka semua tegar berdiri. [***]
***
Testimoni
Memberi Tempat pada Pecandu Melarat
Sebagai “orang tua” di bidang rehabilitasi pecandu narkoba, Bob Monkhouse tak segan memberikan tempat pada pecandu terlantar. Hal ini pun pernah dialami I Gusti Ngurah Wahyunda, Koordinator Ikatan Korban NAPZA (IKON) Bali. Pada 2000, dia diajak orang tuanya untuk rehabilitasi di Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), yang dipimpin Bob.
Semula orang tua Wahyu, panggilan akrab Wahyunda, sanggup membayar biaya rehab Rp 500 ribu per satu minggu. Setelah seminggu rehab, Wahyu keluar. Tapi sekitar sebulan kemudian, dia relapse. Orang tuanya malas memasukkan Wahyu ke rehab lagi. Alasannya karena tak sanggup bayar. “Kalau hanya karena duit masalahnya, biar saja dia di sini gratis asal dia sembuh,” kata Bob pada orang tua Wahyu ketika itu. Maka, Wahyu pun kembali ikut rehab tanpa bayar sama sekali. Padahal untuk rehab di tempat lain bisa sampai bayar Rp 4 juta per bulan.
Di kalangan pecandu narkoba, bapak satu anak ini dijuluki king of relapse karena saking seringnya dia kabuh untuk pakaw lagi. Terakhir dia masuk penjara pada Desember 2003 dan keluar pada Agustus 2004. Setelah itu dia kapok pakai lagi hingga saat ini.
Keluar dari penjara pun Wahyu bergabung dengan Bob di Yakeba. Karena itulah, bagi Wahyu, bantuan Bob pada pecandu maupun pecandu sangat tulus. “Dia juga sangat mudah memaafkan kesalahan orang lain,” katanya. Wahyu sendiri saat ini jadi program manager di Yakeba. Selain itu dia juga mengkoordinir IKON yang mengampanyekan pentingnya hak asasi manusia (HAM) bagi injecting drug user (IDU) atau pengguna narkoba suntik.
“Uncle Bob (panggilan akrab Bob Monkhouse) itu sangat optimis bahwa penjahat pun bisa berbuat baik. Cuma ketika masih jadi pecandu, mungkin belum waktunya (berbuat baik),” kata Wahyu. Karena itu, tambah mantan pecandu yang kenal narkoba sejak 1994 ini, pada pecandu yang relapse berapa kali pun, Bob selalu membuka pintu. Tak heran jika saat ini Yakeba pun sering jadi tempat tongkrongan mantan pecandu maupun mantan narapidana kasus narkoba lain.
Selain mereka saling mendukung lewat narcotic anonymous (NA) meeting atau obrolan lain, mereka juga mengerjakan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Karena itu, menurut Wahyu, terlalu mudahnya Bob memaafkan orang ini juga jadi boomerang. “Dia jadi sering dimanfaatkan mantan pecandu yang nakal,” ujarnya. Tak terhitung aset di Yakeba yang hilang karena dicuri pecandu atau mantan pecandu yang masih suka nyolong.
Dua hal lain yang dikritik Wahyu pada Bob adalah kebiasaannya merokok dan suka “hangat-hangat tahi ayam”, maksudnya mengerjakan sesuatu berdasarkan mood. Karena itu Wahyu menyarankan agar Bob mencari asisten saja. “Meski begitu, dia sudah melahirkan banyak aktivis penanggulangan narkoba maupun HIV/AIDS di Bali,” tegas Wahyu. [***]