Monthly Archives: November 2006

Bob Monkhouse, Membagi Nilai Plus pada Pecandu Narkoba

-tulisan lepas di Media Indonesia. Dimuat Senin, 20 November lalu-

Bob Monkhouse, Membagi Nilai Plus pada Pecandu Narkoba

Puluhan pecandu dan mantan pecandu narkoba sibuk berdiskusi Sabtu siang lalu di Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba). Mereka membicarakan upaya agar injecting drug user (IDU) atau pengguna narkoba suntik dan mantan IDU juga diperhatikan hak asasi manusia (HAM)-nya. Mantan IDU maupun IDU aktif itu juga sedang mendata bentuk-bentuk dan pelaku pelanggaran HAM di kalangan IDU. Tujuannya agar tak ada lagi stigma dan diskriminasi pada IDU.

Di salah satu ruangan, di tempat yang sama, Bob Monkhouse sedang sibuk dengan laporan kegiatan Yakeba. Kadang-kadang, Bob turut dalam diskusi dengan pecandu dan mantan pecandu narkoba lain. Kesadaran bahwa IDU juga punya HAM itu tak bisa dilepaskan juga dari peran Bob Monkhouse, Direktur Yakeba tersebut.

Pengalaman sepuluh tahun di bawah jerat ketergantungan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (NAPZA) membuat pria kelahiran Melbourne, 29 Maret 1941 ini sadar bahwa pecandu perlu orang lain untuk berhenti. Dia kemudian mendirikan Yakeba, tempat rehabilitasi ketergantungan narkoba paling tua di Bali.

Awalnya dia datang ke Bali untuk berlibur pada 1974. Karena jatuh cinta pada keindahan Bali, dia berniat tinggal selamanya di Bali. Keinginan itu membuatnya tak segan kerja keras untuk bisa beli tanah. Dia pernah jadi dosen bahasa Ingris di salah satu universitas di Bali, pernah jadi karyawan galangan minyak di Kalimantan, hingga membuat usaha hotel melati di Tabanan, Bali. Namun narkoba yang dikenalnya sejak 1987 membuatnya harus jatuh bangun.

Seperti pecandu lain, semula dia hanya mencoba. Namun idiom sekali terlalu banyak, seribu tak pernah cukup bagi pecandu memang benar. Bob mengalami ketergantungan pada narkoba. Hingga pada satu titik, dia merasa tak berguna sama sekali karena kecanduannya. Dia merasa melakukan sesuatu yang sia-sia.

Bagi Bob, titik itu tidak untuk disesali. Tapi dijadikan bahan pelajaran bagi mereka sendiri dan orang lain. Bahwa hidup tidak hanya berhenti pada satu titik. Ada titik lain bernama perubahan. Hidup sebelum menjadi pecandu adalah dunia normal. Hidup pada saat jadi pecandu adalah dunia adiksi. Dan, hidup setelah pulih adalah hidup lebih dari sekadar normal. Bob menyebutnya Dunia Normal+. “Plusnya karena kami punya pengalaman lebih,” katanya.

Maka setelah melewati dunia adiksi, Bob memilih membagi nilai plus hidupnya itu pada orang lain, pecandu maupun mantan pecandu. Bob pulih karena ikut Alcoholic Anonymus (AA) Meeting di Ubud pada 1997. AA Meeting adalah pertemuan sesama pecandu alkhol untuk memulihkan diri dari ketergantungan narkoba. Mantan guru ini lalu mengadakan AA Meeting dengan orang Indonesia. Sebab, dalam tiap pertemuan tak ada satu pun orang Indonesia.

Niat ini sempat dipertanyakan temannya sesama bule. Namun Bob yakin masalah ketergantungan alkohol tidak membedakan orang karena ras dan warna kulit. Bob pun mengadakan AA Meeting di Dhyana Pura Seminyak pada 1998. Semula hanya satu dua orang yang hadir hingga akhirnya puluhan orang ikut. “Dari situ saya kemudian tahu bahwa masalahnya bukan alkohol tapi narkotika,” kata Bob.

Pertemuan khusus pecandu alkohol itu lalu berubah jadi narcotic anonymous (NA) Meeting, pertemuan untuk orang-orang yang pernah punya masalah maupun masih punya masalah dengan kecanduan narkoba. Program NA meliputi 12 langkah mengatasi kecanduan narkoba. Misalnya pecandu harus punya keinginan untuk berhenti, pecandu harus jujur pada diri sendiri, dan pecandu mempunyai keterbukaan pikiran. Bagi pecandu maupun mantan pecandu, NA Meeting juga jadi semacam perawatan (maintenance) agar mereka tak kembali pakai narkoba (relapse).

Bagi Bob, kehidupan setelah pulih adalah kehidupan dua arah dan cenderung labil. Mantan pecandu bisa relapse karena masalah yang dihadapi. “Karena itu kami perlu dukungan agar tetap bersih,” kata Bob. Dukungan itu bisa dari keluarga, pekerjaan, sahabat, mantan pecandu, maupun yang lain.

Penikmat rokok kretek dan kopi hitam ini menganalogikan mantan pecandu dengan meja. Dukungan bagi mantan pecandu ibarat kaki meja. Satu dukungan sama dengan satu kaki. Kalau hanya ada satu dukungan berarti hanya ada satu kaki. Dua dukungan berarti dua kaki, dan seterusnya. Misalnya ada meja dengan tiga kaki. Kalau satu kaki patah, maka meja itu akan jatuh. Semakin banyak kaki, meja itu akan semakin kuat berdiri. “Jika satu kaki patah, masih ada puluhan kaki lain yang menopang agar meja tetap berdiri,” katanya.

Dengan semangat itulah, Bob mengembangkan Yakeba sejak 10 April 1999. Bahwa pecandu narkoba harus didukung demi pemulihannya. Karena itu, Bob bersama staf di Yakeba tak segan mengadakan kegiatan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terbesar di Bali, Kerobokan. Di tempat ini, Yakeba memberikan program pre dan post release, khususnya bagi narapidana kasus narkoba. Tujuannya mempersiapkan narapidana itu secara fisik, mental dan emosional.
Setelah napi bebas, Yakeba pun memberikan tempat mereka untuk bekerja. Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang didukung Dinas Kesejahteraan Sosial Bali, mereka membuat berbagai kerajinan. Ada coklat, lilin, dupa, hingga spanduk. Secara ekonomi mungkin tidak terlalu berhasil karena kurangnya pemasaran, namun secara emosional dan mental, program itu mungkin berhasil.

Yakeba dengan dukungan Badan Narkotika Nasional (BNN) sampai saat ini juga masih melaksanakan Halfway House, rehabilitasi bagi pecandu yang terlantar atau tidak diterima keluarganya. Sebab hingga saat ini, pecandu narkoba memang belum sepenuhnya bisa diterima, termasuk oleh keluarganya sendiri.

Melalui berbagai programnya, Bob dan Yakeba sudah memulihkan setidaknya 200 pecandu di Bali. Dari ratusan “alumni” Yakeba itu, beberapa orang kini aktif di lembaga penanggulangan narkoba maupun AIDS seperti Yayasan Spiritia, Burnet Institute, dan Indonesian HIV/AIDS Prevention and Care Project (IHPCP).

Bagi Bob, yang hingga kini masih membujang, dukungan pada pecandu dan mantan pecandu dilakukan dengan cara membagi pengalaman, harapan, dan kekuatan. “Agar mereka (pecandu dan mantan pecandu) bisa diterima kembali oleh lingkungannya, kembali produktif, dan punya tangungjawab,” ujar penikmat renang ini.

Pemulihan pecandu narkoba, lanjutnya, merupakan proses panjang memulihkan fisik, mental, emosional, dan spiritual. Paling gampang pemulihan fisik. “Cukup dengan detosifikasi selesai. Tapi itu belum cukup,” ungkapnya. Setelah mantan pecandu itu bisa mengatasi masalah fisik, secara mental dia kadang-kadang ingin pakai lagi. Maka mentalnya pun harus dipulihkan agar tak kepikiran untuk relapse. “Di sinilah perlunya dukungan orang lain untuk mengingatkan kemungkinan dia untuk relapse,” katanya.

Menurut Bob, pecandu narkoba adalah korban. Meskipun dia disangka melakukan tindak kriminal, namun sebenarnya itu karena pecandu tersebut tidak bisa melepaskan diri dari kecanduannya. Karena itu perlu pendekatan khusus pada pecandu untuk memulihkannya. “Tidak dengan memasukkannya ke penjara,” tegasnya. Memang sudah jadi rahasia umum bahwa penjara merupakan tempat narkoba paling besar dan aman di Bali.

Karena itu Bob mendorong agar pemerintah menyediakan tempat rehab bagi pecandu narkoba yang ditangkap. Persoalannya, tempat rehab pun masih susah. Atau kalau toh ada harganya sangat mahal. “Pemerintah seharusnya menyiapkan tempat rehabilitasi yang gratis. Agar penangulangan narkoba bisa lebih optimal,” ujar Bob yang juga Koordinator Jaringan Aksi Nasional Pengurangan Dampak Buruk Narkoba (Jangkar) untuk wilayah Bali ini.

Selain itu, meski dalam Undang-undang (UU) Narkotika No 22 tahun 1997 menyebut adanya hukuman rehabilitasi bagi pecandu narkoba, dalam praktiknya tidak pernah ada hakim yang menjatuhkan vonis rehab tersebut. “Seharunya hakim memberikan pilihan apakah pecandu itu mau dihukum penjara atau dihukum rehab. Jadi dia bisa menentukan jalan keluarnya sendiri,” katanya.

Bob mengaku menikmati hidupnya sekarang. Dia mengurus Yakeba dengan belasan mantan pecandu lain. Mereka saling membagi dan mendukung. Wujud dukungan itu dirasakan anak-anak sekolah melalui penyuluhan, atau pecandu dan mantan pecandu lewat NA Meeting, rehab, dan berbagai kegiatan lain. Bob terus menjadi satu di antara sekian kaki yang membuat mereka semua tegar berdiri. [***]

***
Testimoni
Memberi Tempat pada Pecandu Melarat

Sebagai “orang tua” di bidang rehabilitasi pecandu narkoba, Bob Monkhouse tak segan memberikan tempat pada pecandu terlantar. Hal ini pun pernah dialami I Gusti Ngurah Wahyunda, Koordinator Ikatan Korban NAPZA (IKON) Bali. Pada 2000, dia diajak orang tuanya untuk rehabilitasi di Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), yang dipimpin Bob.

Semula orang tua Wahyu, panggilan akrab Wahyunda, sanggup membayar biaya rehab Rp 500 ribu per satu minggu. Setelah seminggu rehab, Wahyu keluar. Tapi sekitar sebulan kemudian, dia relapse. Orang tuanya malas memasukkan Wahyu ke rehab lagi. Alasannya karena tak sanggup bayar. “Kalau hanya karena duit masalahnya, biar saja dia di sini gratis asal dia sembuh,” kata Bob pada orang tua Wahyu ketika itu. Maka, Wahyu pun kembali ikut rehab tanpa bayar sama sekali. Padahal untuk rehab di tempat lain bisa sampai bayar Rp 4 juta per bulan.

Di kalangan pecandu narkoba, bapak satu anak ini dijuluki king of relapse karena saking seringnya dia kabuh untuk pakaw lagi. Terakhir dia masuk penjara pada Desember 2003 dan keluar pada Agustus 2004. Setelah itu dia kapok pakai lagi hingga saat ini.

Keluar dari penjara pun Wahyu bergabung dengan Bob di Yakeba. Karena itulah, bagi Wahyu, bantuan Bob pada pecandu maupun pecandu sangat tulus. “Dia juga sangat mudah memaafkan kesalahan orang lain,” katanya. Wahyu sendiri saat ini jadi program manager di Yakeba. Selain itu dia juga mengkoordinir IKON yang mengampanyekan pentingnya hak asasi manusia (HAM) bagi injecting drug user (IDU) atau pengguna narkoba suntik.

“Uncle Bob (panggilan akrab Bob Monkhouse) itu sangat optimis bahwa penjahat pun bisa berbuat baik. Cuma ketika masih jadi pecandu, mungkin belum waktunya (berbuat baik),” kata Wahyu. Karena itu, tambah mantan pecandu yang kenal narkoba sejak 1994 ini, pada pecandu yang relapse berapa kali pun, Bob selalu membuka pintu. Tak heran jika saat ini Yakeba pun sering jadi tempat tongkrongan mantan pecandu maupun mantan narapidana kasus narkoba lain.

Selain mereka saling mendukung lewat narcotic anonymous (NA) meeting atau obrolan lain, mereka juga mengerjakan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Karena itu, menurut Wahyu, terlalu mudahnya Bob memaafkan orang ini juga jadi boomerang. “Dia jadi sering dimanfaatkan mantan pecandu yang nakal,” ujarnya. Tak terhitung aset di Yakeba yang hilang karena dicuri pecandu atau mantan pecandu yang masih suka nyolong.

Dua hal lain yang dikritik Wahyu pada Bob adalah kebiasaannya merokok dan suka “hangat-hangat tahi ayam”, maksudnya mengerjakan sesuatu berdasarkan mood. Karena itu Wahyu menyarankan agar Bob mencari asisten saja. “Meski begitu, dia sudah melahirkan banyak aktivis penanggulangan narkoba maupun HIV/AIDS di Bali,” tegas Wahyu. [***]

2 Comments

Filed under Uncategorized

Cerita Mertua Kepentung Sampe Buntung

Sore kemarin akhirnya bapak mertuaku keluar. Kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri. Dia diberi penangguhan penahanan. Tentu saja ga gratis.

Setelah sebelumnya bayar Rp 8 juta di polisi agar kasusnya segera dilimphakna, dia juga bayar ke jaksa kali ini. Besarnya Rp 5 juta biar diberi penangguhan penahanan. Jadi kini statusnya tahanan rumah. Seminggu sekali harus lapor ke polisi.

But, itu bukan berarti selesai. Dia masih harus bayar lagi nanti kalau sudah mulai sidang. Rp 5 juta utk tuntutan. Rp 5 juta lagi untuk putusan. Total ya, sampe Rp 20 juta lebih. Belum lagi termasuk ecek2 lain.

Masih untung duit itu urunan ma tersangka lain. Tapi paling ga mertuaku harus keluarin duit Rp 5 juta biar bisa bebas.

Ah, itu baru kasus judi ceki. Gimana yg kasus berat?

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Maunya Untung Malah Kepentung Sampe Buntung

Senin sore pekan lalu dia ketangkap polisi gara-gara main ceki. Sore itu juga dia dibawa ke Polsek Denpasar Timur. Ketika ngobrol ma aku di Polsek, bapak bilang main ceki hanya untuk ngisi waktu. “Maunya hasil main ceki nanti dipake rame-rame untuk beli babi buat hari raya Galungan,” kata bapak. Babi itu, lanjutnya, akan dibagi sesama mereka sendiri.

Aku mengiyakan aja. Tiap orang punya cara merayakan sesuatu masing-masing.

Namun niat merayakan Galungan itu jadi cerita panjang bagaimana jual beli hukum, setidaknya di tempat-tempat yg berhubungan dengan kasus tersebut. Intinya gimana caranya biar bapak ga harus lama2 ditahan, atau malah syukur2 dibebaskan saja dari semua sangkaan.

Tahap pertama di polisi. Ada beberapa jalan. Aku coba telpon teman anggota polisi utk tanya gimana biar bisa 86 alias selesai di bawah tangan. Teman itu bilang agak susah. “Soalnya Kapolda baru. Jadi anggota belum tau gimana caranya,” kata teman itu. Sejak zaman Kapolri Soetanto, menurut dia memang susah nglepasin kasus judi dan narkoba. Penangguhan penahanan alias ditahan di rumah pun susah. Jadi jalan ini mentok.

Jalan kedua lewat polisi yg temannya teman kakak. -Kebayang ga ya? :))- Konon dari jalan itu bisa dipercepat prosesnya sehingga tersangka bisa cepet dilimpahkan ke Kejati. Tapi ya harus bayar. Ternyata jalan ini bisa. Cuma ya harus nyiapin duit.

Jalan ketiga di tahap ini, lewat tetangga yg jadi jaksa. Tetangga itu ngaku sebenarnya tidak mau bantu yg gitu2. Tp karena sudah seperti keluarga jd dia bersedia bantu. Caranya mirip jalan kedua: dipercepat di polisi biar segera dilimpahkan. Nanti tinggal bayar di jaksa agar tersangka bisa ditangguhkan penahanannya. Jalan ini juga bisa. Cuma ya harus bayar dobel, di polisi iya, di jaksa juga.

Eh, ternyata dua jalan terakhir bisa. Jadi dua2nya harus bayar. Totalnya ternyata sampe Rp 8 juta utk empat tersangka.

Hari ini, katanya bapak akan dilimpahkan ke kejaksaan negeri. Setelah itu harus bayar ke jaksa agar tersangka dijadikan tahanan luar. Kalau ini selesai, tetep harus mikir bahwa nanti juga harus bayar ke hakim agar vonis diringankan.

Pelimpahan ke kejaksaan bukan akhir perjalanan. Masih banyak duit yg harus disiapkan pada para pengabdi hukum, eh, penjual hukum itu.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Setelah Migrasi ke Beta

Kemarin baru migrasi ke Beta Blogger. Agak beda desain dan cara uploadnya.
But, tetep aja ga seperti yg aku mau.
Gimana ya?

Ini lagi ngetes. Tes. Tes. PROTEST!

1 Comment

Filed under Uncategorized

Efo Menjangkau Hingga Pelosok Desa

-tulisan lepas setelah cabut daru GATRA. aku sekarang sering nulis profile. tulisan yg dimuat di Media Indonesia, lupa tanggalnya. tapi dimuatnya dengan ngedit judul dan nama penulis pake nama istri-

Efo Menjangkau Hingga Pelosok Desa

Hingga November ini, Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI), menangani 23 anak yatim piatu di daerah Pejarakan, Buleleng, Bali Utara. Orang tua anak-anak yang rata-rata balita dan SD itu meninggal karena infeksi oportunistik akibat HIV/AIDS. Dua di antara mereka positif human immunodeficiancy virus (HIV), virus penyebab sindrom menurunnya sistem kekebalan tubuh, acquired immune deficiancy syndrome (AIDS). Ironisnya, mereka yang positif HIV di daerah tersebut hampir semuanya tinggal di desa terpencil.

Fakta itu membuat Made Efo Suarmiartha prihatin. “Terbukti bahwa epidemi ini tidak bisa dibatasi status sosial,” kata Direktur Pelaksana YCUI. Menurut Efo, panggilan akrabnya, ketika ditemukan pertama kali di Indonesia pada 1987, banyak orang melihat HIV/AIDS hanya persoalan kelompok tertentu. Waktu itu Tuti Parwati, dokter spesialis penyakit dalam di Denpasar menemukan HIV pada seorang turis Belanda yang orientasi seksualnya homosek.

Karena itu HIV/AIDS, saat itu dianggap hanya persoalan turis, orang kota, dan kelompok homoseks. Nyatanya, epidemi ini telah menerobos batas sosial, geografis, dan orientasi seksual. Desa yang selama ini seolah-olah tak akan tersentuh masalah ini juga terdampak. Maka, sejak Agustus lalu, YCUI membentuk Kader Desa Peduli AIDS (KDPA). “Agar masalah ini juga melibatkan perangkat desa,” ujar Efo.

Tujuan utama KDPA menjadikan masalah HIV/AIDS juga sebagai bagian dari persoalan orang desa. Mereka yang terlibat adalah perangkat desa. Namun tujuan paling penting untuk menghapus stigma bahwa masalah HIV/AIDS hanya kelompok orang “berdosa” serta mitos bahwa orang desa tidak akan tersentuh masalah ini. Sebab, hasil pergulatan Efo sekitar 15 tahun menunjukkan bahwa orang desa jga rentan terdampak HIV/AIDS.

Masalah HIV/AIDS bagi Efo memang bukan hal baru. Sejak masih semester IV Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali Efo sudah akrab dengan persoalan infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV/AIDS. Ketika itu, pria kelahiran Singaraja, 9 November 1963 ini kali jadi asisten peneliti kesehatan. Objek penelitiannya tentang gay dan waria. Dari situ ketertarikannya pada masalah IMS terbentuk.

Penelitian etnografi, menariknya karena melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Peneliti pun tak hanya sibuk di ruangan. “Kami harus ke lapangan untuk mendapat hasil paling valid,” katanya. Alasan ini pula yang membuatnya menjadikan masalah hubungan pola hidup menetap dengan kesehatan di Alor sebagai bahan skripsi.

Lulus pada 1989, bapak tiga anak ini memutuskan mengabdi pada persoalan HIV/AIDS. Dia bergabung kelompok penelitian AIDS di almamaternya. Dia pun jadi peneliti utama masalah HIV/AIDS di kalangan sopir. Tiap hari dia bergaul dan menggali perilaku seksual mereka. Dari situ Efo tahu bahwa perilaku mereka sangat berisiko. Namun karena rata-rata orang desa dan kurang pendidikan, para sopir itu belum sadar perilaku mereka berisiko menularkan IMS, termasuk HIV/AIDS, pada istri. “Kami kemudian tak hanya meneliti tapi juga memberikan penyuluhan, pendampingan, dan informasi yang benar tetang persoalan tersebut,” ujarnya.

Berdasarkan pengalaman tersebut, Efo dan teman-temannya mendirikan YCUI pada 4 Februari 1992. Yayasan ini bertujuan menanggulangai masalah HIV/AIDS. Mereka sepakat penelitian saja tidak bisa menyelesaikan persoalan. Karena itu perlu “kendaraan” yang lebih bisa terlibat dalam penanggulangan.

Mereka menerapkan penjangkauan (outreach) dan melibatkan kelompok berisiko tak hanya sebagai dampingan tapi sekaligus petugas lapangan (PL). Maka, hingga saat ini, PL YCUI pun hampir semuanya berasal dari latar belakang sama dengan kelompok berisiko yang ditangani. Misalnya untuk kelompok gigolo, PL-nya dari mereka yang akrab dengan dunia gigolo, kelompok sopir PL-nya bekas sopir, dan seterusnya. “Kami hanya memfasilitasi,” ungkap Efo.

Strategi snowballing ini memudahkan penjangkauan. Dari penjangkauan di satu lokasi tertentu, misalnya tempat prostitusi, mereka lalu tahu bahwa pelaku perilaku berisiko ini biasa berkelompok. Lebih mengejutkan, ternyata sebagian besar dari desa. “Setelah melihat data kasus, ternyata kasus IMS paling banyak terjadi dari desa,” ujarnya. Hal ini, menurutnya, karena orang-orang desa punya mobilitas tinggi. Pekerjaan sebagai tukang dan sopir membuat mereka sering berpindah.

Mobilitas ini ada hubungannya dengan kondisi desa mereka. Makin kering dan terpencil, makin banyak penduduk desa itu yang merantau dan memiliki perilaku berisiko tinggi. Menyadari hal ini, YCUI melakukan pemetaan ulang. Jangkauan YCUI pun lebih banyak di daerah. Semula mereka lebih fokus di Kuta, Sanur, dan Denpasar. Nyatanya, masalah juga terjadi di Ubud, Karangasem, Candi Dasa, hingga Lovina. Maka wilayah jangkauan mereka pun ada di daerah terpencil seperti kabupaten Badung, Karangasem, Jembrana, dan Buleleng.

Penjangkauan ke desa ini juga dilakukan karena biasanya kelompok berisiko tinggi ini kembali ke desa setelah sakit. Masalahnya, kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS membuat orang-orang desa ini tak sadar mereka positif HIV, bahkan sudah pada fase AIDS. Mereka menghubungkan sakit mereka dengan persoalan non-medis. “Kalau sakit tidak sembuh-sembuh, mereka berpikir hal itu karena guna-guna atau semacamnya. Apalagi di Bali masih kuat anggapan seperti itu,” kata Efo.

Tanpa mereka sadari, mereka yang sudah positif HIV atau IMS lain ini menularkan ke istri. Dari istri menular ke anak. Dengan cepat, HIV menular ke orang-orang yang tak pernah melakukan perilaku berisiko tinggi. Perempuan dan anak pun jadi korban. “Lalu apa kita hanya akan diam dan menyalahkan mereka yang tak bersalah ini?” tanya Efo.

Efo tidak hanya diam apalagi menyalahkan. Dia memilih memberi dukungan pada anak-anak ini. “Karena menyalahkan saja tidak bisa menyelesaikan persoalan,” tegas suami Utami Rahayu ini. Dia dan teman-temannya memberi layanan nutrisi dan beasiswa pada anak-anak korban HIV/AIDS tersebut. YCUI, melalui kelompok dampingan Suryakanta juga kini membuat semacam kelompok bermain untuk anak-anak ODHA tersebut. Kini YCUI tak sendiri mengurusi anak-anak tersebut. Efo dan teman-temannya mendapat dukungan dari kelompok swasta. Misalnya dari Bali Care Community (BCC), Standard Chartered Bank, serta beberapa hotel di Bali.

Efo, yang mendapat fellowship dari Ashoka Indonesia atas dedikasinya pada masalah HIV/AIDS ini pun menilai masalah HIV/AIDS sudah lebih baik dari sejak pertama kali ditemukan. Misalnya dari temuan kasus. “Kalau dulu orang tidak percaya HIV/AIDS juga ada di sekeliling mereka, namun sekarang banyak pihak sadar bahwa masalah ini dekat dengan mereka,” kata Konsultan Behaviour Change Communiacation Aksi Stop AIDS (ASA) Family Health Indonesia ini.

Makin banyak kasus ditemukan, menurut Efo, tidak menunjukkan bahwa masalah ini tidak bisa ditangani. “Justru itu menunjukkan keberhasilan. Sebab, HIV/AIDS memang seperti gunung es. Fakta sebenarnya masih banyak tersembunyi. Makin banyak diketahui yang positif makin memudahkan penanganan,” jelasnya.

Perhatian pemerintah Bali pun makin berpihak. Misalnya dengan adanya peraturan daerah tentang penanggulangan HIV/AIDS. “Artinya pemerintah sudah melihat masalah ini sebagai tanggung jawab pemerintah dan punya kemauan untuk menanggulangi,” ujar Efo. Layanan kesehatan pada orang dengan HIV/AIDS pun makin mudah. Di sisi lain, lembaga penanggulangan HIV/AIDS pun makin banyak. Ini menunjukkan makin banyak pihak yang peduli dan terlibat. “Kalau dulu hanya ada YCUI dan YKP (Yayasan Kerti Praja, red) yang mengurusi masalah ini,” katanya.

Saat ini di Bali memang banyak lembaga penanggulangan HIV/AIDS. Misalnya Bali+ yang memberi dukungan pada Odha, Yayasan Hatihati pada kelompok pengguna narkoba dengan jarum suntik (penasun), dan lainnya. Dukungan juga diberikan oleh sekitar enam kelompok dukungan sebaya (KDS) di Bali pada kelompok khusus. Misalnya Tunjung Putih untuk perempuan, Addict+ untuk penasun, dan Warcan+ untuk waria.

Di antara sekian lembaga penanggulangan itulah, Efo dan teman-temannya menyelusup ke desa-desa dan mengurusi anak-anak. Mereka mengurusi kelompok yang selama ini jarang disentuh. [***]

***

Testimoni
Memandang HIV/AIDS dengan Tajam

Sebagai salah satu pionir penanggulangan HIV/AIDS di Bali, Made Efo Suarmiartha punya pandangan tajam dalam persoalan ini. “Dia berani memilih hal sulit yang kurang diperhatikan banyak orang,” kata Mercya Soesanto, media relation officer Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali. Pilihan tersebut, lanjut Mercya, terlihat dari program penanggulangan yang sebagian besar dilakukan di pelosok desa. “Kalau orang lain kan lebih memilih yang lebih gampang, tapi dia tidak,” tambahnya.

Dalam penilaian ibu satu anak tersebut, Efo juga konsisten dengan ide yang muncul di kepalanya. “Kalau dia sudah punya ide, maka ide itu harus diwujudkan meski orang lain menganggap tidak mungkin bisa,” ujar Mercya. Contohnya soal genjek HIV/AIDS. Efo yang memberikan ide melibatkan grup musik akapela ala Bali itu dalam dalam kampanye HIV/AIDS. Semula seperti tidak mungkin. Ternyata kini sekaa (kelompok) genjek sudah terbentuk hampir di tiap daerah dampingan YCUI.

Dari Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) yang dipimpin Efo pula, Mercya mengaku jadi lebih tahu persoalan HIV/AIDS pada anak-anak di Kecamatan Grokgak, Buleleng, Bali Utara. Dari situ, Mercya dan beberapa temannya mendirikan Bali Community Care (BCC), komunitas funding development. Saat ini BCC fokus pada anak-anak korban HIV/AIDS tersebut. Bantuan yang diberikan untuk masalah kesehatan dan pendidikan.

Di bidang pendidikan misalnya dengan beasiswa dan peralatan sekolah. Sedangkan untuk kesehatan berupa nutrisi dan memudahkan layanan kesehatan. Bantuan itu disalurkan pada anak-anak korban HIV/AIDS melalui YCUI. “Kami (BCC dan YCUI) saat ini juga sedang mengusahakan agar anak-anak itu bisa mendapat asuransi kesehatan,” lanjutnya. Ide itu, menurut Mercya, tak bisa dilepaskan dari peran Efo dan YCUI.

Bantuan YCUI dan BCC itu diberikan sejak sekitar 1,5 tahun lalu. Awalnya “hanya” 14 anak korban HIV/AIDS. Kini sudah ada 23 anak yang mereka bantu. Bahkan, setahu Mercya, di kelompok bermain yang didirikan YCUI di desa Goris, Buleleng, saat ini ada 50an anak. “Itu kan jumlah yang tidak sedikit,” katanya.

Pandangan Efo yang tajam pada persoalan HIV/AIDS itu pula yang membuat mereka kini sedang memikirkan upaya pendampingan secara psikologis pada anak-anak itu. “Gila kan? Sia sampai mikir persoalan character building anak-anak tersebut. Padahal selama ini penanggulangan HIV/AIDS masih fokus pada pendampingan Odha (orang dengan HIV/AIDS),” kata Mercya.

Namun, Mercya menilai, kuatnya kemauan dalam penanggulangan HIV/AIDS itu kadang membuat Efo terlihat keras kepala. “Tapi sejauh ini sih keras kepalanya Efo berhasil ya,” kata Mercya. [***]

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Polisi (yang Tak) Siap Melayani Masyarakat

Senin sore sekira pukul 19.00 wita. Dengan agak sopan -setidaknya aku berusaha begitu- aku tanya ke polisi piket petang itu, “Permisi, Pak. Kalau jenguk tahanan di mana, Pak?”

“Atas nama siapa? Kasus apa?” salah satu dari dua polisi itu balik bertanya.

“Nengah W.. Gak tau kasus apa,” jawabku.

Sekitar tiga jam sebelumnya bapak mertuaku ditangkap polisi. Katanya karena main ceki, semacam judi dengan kartu. -Judi sebenarnya kurang pas. Orag di Bali tuh main ceki lebih banyak karena fun, bukan keuntungan.- Dia ditahan di Polsek Denpasar Timur. Petang itu aku menjenguknya sekaligus mau tahu gimana cerita versi dia.

“Oh, yang kasus ceki ya?” tanya polisi itu agak sinis.

“Mungkin, Pak..”

“Gimana? Mau ngapain?”

“Mau besuk, Pak.”

Aku bawa makan malam, kue, minum, dan pakaian untuk mertuaku. Aku taruh di meja petugas, dia diam saja. Jadi aku ambil lagi. Pas tak angkat, polisi yang sinis itu berkata kasar. “Bawaan itu diperiksa dulu..”

“Lho kan tadi udah saya taruh tapi tidak diperiksa?”

“Kamu ini. Kalau mau besuk tahanan itu ya barang pasti diperiksa. Kalau makanan ini isi racun gimana! Kan saya yang kena.. Kalau kamu bawa sate, kan tidak boleh. Karena itu termasuk barang berbahaya -tusuk sate mungkin maksudnya-.” Dan bla.bla.bla..

Polisi itu terus nyerocos. Dia nyalahin aku. Aku minta maaf. Tapi dia terus ngomong kasar dan tidak simpatik. Karena ga tahan, aku jawab balik agak kasar juga.

Tidak menyelesaikan masalah. Kami malah ribut sementara. Polisi satunya lagi senyum2. Dia seperti bilang ke aku, “Ga usah diurus. Temanku ini memang resek..”

Ah, beginikah wajah anggota instansi yang slogannya Kami Siap Melayani Anda itu? Menjengkelkan!

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Cerita Puputan Tanpa Kesimpulan

-tulisan terakhir di GATRA, meski buatnya sudah sejak akhir September lalu-

Buku tentang Puputan Badung dari persepektif Belanda dan Bali. Tanpa kesimpulan jadi pilihan mengambang.

Peringatan seabad perang antara Belanda dan kerajaan Badung diperingati di Denpasar, Bali Rabu pekan lalu. Ribuan orang mengiringi arak-arakan Gerebek Aksara sepanjang sekitar 100 km dari Karangasem ke Denpasar. Selain mengarak benda-benda pusaka, termasuk buku Sutasoma dan Negara Kertagama, juga ada parade kerajaan-kerajaan nusantara. Perang yang dikenal dengan nama Puputan Badung itu dikenang sebagai salah satu peristiwa besar, setidaknya bagi warga Denpasar.

Meski dianggap peristiwa besar, catatan sejarah tentang perang pada 20 September 1906 itu termasuk kurang. Kalau toh ada, berupa bahasa Belanda atau geguritan Bali dan Jawa kuno, bahasa yang susah dimengerti sebagian besar orang Bali saat ini. Maka, peneliti sejarah Bali University of Queensland Australia Helen Creese, guru besar Sejarah Asia Erasmus University Rotterdam Belanda Henk Schulte Nordholt, dan dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali Darma Putra menghimpun bahan-bahan tentang Puputan Badung dalam satu buku. Buku itu diluncurkan sehari sebelum puncak peringatan seabad Puputan Badung.

Continue reading

1 Comment

Filed under Bali, Buku, Pekerjaan, Uncategorized

Ternyata, Status Itu Penting Juga

-inilah isi otakku seminggu ini-

Ya, begitulah.
Mungkin masih sindrom.
Biasanya kan punya tempat kerja yg jelas meski honor sama sekali ga jelas.

Kini bawaannya mikir kalo pas lagi liputan.
Ga PD aja kalo ditanya, “Wartawan apa, Mas?”
Menjawab, “Freelance..” tuh kayaknya kurang yakin.
Padahal biasanya pakai status juga cuma formalitas.

Ya, tunggu sajalah.
Kali karena belum biasa..

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Akhirnya, Aku Mundur Juga

Ah, setelah sekian bulan hanya mikir, mikir, dan mikir, akhirnya aku ngambil pilihan juga. Mundur sajalah. Mari jadi wartawan freelance. Meski itu bukan hal gampang. But, setidaknya lebih merdeka. Ya, liat2 aja sampai Januari ntar gimana kira2 hasilnya.

***

Denpasar, 8 November 2006

Kepada
Yth Pemimpin Redaksi Majalah GATRA
di Tempat

Dengan hormat,

Melalui surat ini, saya Anton Muhajir, dengan ini mengajukan pengunduran diri sebagai Koresponden GATRA di Bali. Menjadi Koresponden GATRA di Bali sejak Juni 2001 hingga saat ini, Saya merasa tidak ada kebijakan yang jelas dari pimpinan GATRA terkait koresponden di semua daerah, termasuk Bali.

Meski demikian, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas semua pelajaran yang pernah diberikan, langsung maupun tidak langsung. Lima tahun bekerja sebagai koresponden GATRA di Bali merupakan pengalaman berharga bagi saya. Saya juga mohon maaf jika ada hal-hal yang kurang berkenan selama jadi Koresponden di Bali.

Demikian surat pengunduran diri saya. Terima kasih atas kerja samanya..

Hormat saya,

Anton Muhajir

1 Comment

Filed under Uncategorized

Begitu Banyak Ide Berkelebat. Dan, Mengendap..

Begitulah. Begitu banyak ide di kepalaku. Bikin media consultant, bikin yayasan utk riset media, ngurusi anak jalanan, bikin buku indepth report soal HIV/AIDS, sampe bikin usaha kaos propaganda.

But, semua hanya berkelebat di kepala. Sekali-kali ide itu muncul kembali. Mendesa-desak ke otak minta diwujudkan. Lalu aku sibuk mencari jalan. Ketika ketemu hanya gang kecil, aku masuk. Buntu. Selalu begitu.

Ide di kepalaku tak pernah terwujud. Hanya membatu. Mengendap di otakku.

1 Comment

Filed under Uncategorized