Monthly Archives: September 2006

Selalu Ada Tempat Bermula dan Selalu Ada Tempat untuk Kembali

Setelah memindah istri dari ruang operasi ke ruang recovery, aku menunggu Bani akan dibawa ke ruang itu juga. Namun perawat yang datang memberi aku ari-ari di dalam tembikar seperti kendi.

Menurut ritual Jawa atau Bali, ari-ari biasa ditanam di rumah. Ari-ari dianggap sebagai saudara kandung si bayi. Aku ga terlalu ngerti soal ini. Tapi sepertinya asik juga kalau punya ritual tertentu menyambut si bayi. Maka ari-ari itu aku bawa pulang untuk kutanam di rumah.

Aku cari tempat di halaman depan, mepet tembok, di bawah pelangkiran [tempat menaruh banten kalau sembahyang]. Aku bongkar grass block di situ menggali sekitar 30 cm. Kami sudah sepakat sebelumnya untuk menanam ari-ari itu bersama globe [bola dunia] dan pulpen. Kami pengen si Bani bisa menjelajah dunia bermodal pulpen. Tak logis memang. Tapi bagiku, menanam ari-ari bersama globe dan pulpen hanya simbol harapan kami pada si Bani.

Untuk menutup kendi, aku ambil Kompas edisi Sabtu [23/09] tersebut. Aku ambil halaman Internasional yang -kebetulan banget- ternyata satu bagian dengan opini tentang perlunya rendah hati saat puasa.

Aku tanam di halaman rumah. Aku bacakan doa. “Bani anak kami. Aku kubur saudaramu dengan sebuah harapan. Bahwa kau bisa jadi orang yang lebih baik dari kami. Bisa peduli para orang lain tanpa melihat asal usulnya. Bisa membela orang2 kalah. Bisa berempati pada orang2 tertindas. Dan, kau seperti namamu, akan berani menulis untuk mengubah sesuatu.”

“Oya, kami juga berharap kamu bisa menjelajah dunia dengan tulisan2mu itu.. Bisa bertemu dengan beragam budaya. Menjelajah semua benua. Membuka pikiran seluas-luasnya.”

“Bani anak kami. Kamu hanya titipan. Kami hanya tempat kau pernah lahir. Kalau sudah besar, larilah. Kejarlah apa yang kamu cari. Namun percayalah bahwa apa pun adamu, kami selalu siap menerima keluhmu. Siap menerimamu ketika letih dalam perjalanan.”

“Bani, rumah ini tempatmu berasal dan tempat mu boleh kembali kapan pun..”

“Bani, anak kami. Selalu ada tempat bermula. Dan selalu ada tempat untuk kembali..”

2 Comments

Filed under Uncategorized

Welcome to The Jungle, Bani Nawalapatra

Sabtu [23/09] pukul 08 pagi. Puasa Ramadhan 1427 H tinggal sehari lagi. Kami sedang baca koran dan minum kopi.

Istriku masuk kamar mandi. Aku masih duduk di ruang tamu sambil baca koran. Istriku berseru, “Yah, kok vaginaku keluar darah ya?”.

“Bani mau lahir kali,” jawabku. Hanya bercanda.

Aku masuk kamar mandi juga. Ada darah mengental di dudukan toilet. Dari vagina istri keluar air. Kami hanya menduga itu air ketuban. Tapi tidak terlalu yakin. Kami kembali ke kamar tamu. Duduk. Lalu telepon salah satu teman yang sudah dua kali melahirkan. Dia menyarankan kami periksa ke dokter. “Jangan-jangan itu benar air ketuban,” katanya.

Air itu, yang istriku dan aku juga belum yakin air ketuban, terus keluar. Kami sepakat segera ke rumah sakit Puri Bunda, yang tak jauh dari rumah dan sudah dirujuk dokter. Tanpa mandi, kami berangkat

Kami masuk ruang unit gawat darurat (UGD). Istriku berbaring setelah bajunya diganti perawat. Tak lama kemudian dokter, tempat kami biasa memeriksa kandungan, datang. Dia memeriksa air itu. “Benar. Ini air ketuban. Sekarang ibu harus menunggu sampai jam dua. Kalau air ketubannya masih keluar terus, berarti ibu harus melahirkan hari ini. Tapi kalau berhenti ya belum tentu,” katanya.

Kami menunggu. Istri berbaring, aku duduk di sebelahnya. Aku sempat pulang ke rumah sekitar 30 menit untuk bersih-bersih rumah. Ketika balik ke rumah sakit, ternyata istri sudah pindah ke ruang bersalin. Di kanan kiri kami terdengar ibu-ibu mengerang kesakitan karena melahirkan. Ada yang udah dua hari berusaha tapi anaknya tak keluar juga. Ada yang baru 30 menit bayinya sudah lahir.

Kami menunggu. Waktu berjalan sangat lambat. Kami masih dalam pertanyaan besar apa memang bayi kami akan lahir Sabtu siang itu.

Sekitar pukul 12, seorang perawat ngasi tahu kalau bayi harus dilahirkan hari itu lewat operasi. Kami tidak punya pilihan. Makin cepat melahirkan makin baik. Namun kami masih harus menunggu. Sebab, operasi baru akan dilakukan pukul 2 siang.

Kami menunggu. Waktu berjalan sangat lambat.

Pukul 13.30 perawat datang mengajak istri ke ruang operasi. Aku ga boleh ikut. Aku nunggu di ruang lobi. Bagiku waktu berjalan sangat lambat. Dunia seperti berjalan pelan. Aku deg-degan. Antara cemas, senang. Tidak jelas. Aku bolak-balik antara ruang operasi dan tempat nunggu.

Setengah jam menunggu, aku mendekati ruang operasi lagi. Tak lama keluar perawat mendorong tempat tidur bayi. Perasaanku mengatakan, “Itu bayiku!”

“Bapak suaminya Bu Suriyani?”

“Ya, Bu.”

“Selamat ya. Anaknya sudah lahir. Cowok. Sehat.”

Aku mendekati bayi itu. Menyentuh pipinya. Menyentuh kulitnya. Anak kami telah lahir. Aku ga bisa menuliskan perasaanku. Dalam hati aku menyambutnya. Selamat datang di belantara dunia, Bani Nawalapatra..

1 Comment

Filed under Uncategorized

Suddenly empty when i just opened this blog. So, b…

Suddenly empty when i just opened this blog.
So, batal deh posting..
Bener ga ya bahasa inggrisku?

1 Comment

Filed under Uncategorized

Puputan Badung Seabad Kemudian

Huh, akhirnya posting juga. Minggu ini banyak kerjaan. -Apa banyak kemalasan ya? :))- Intinya ga sempat posting meski ada beberapa hal yang pengen disimpan rapi di blog ini. But, ya karena kerjaan, ya karena malas itu tadi. Jadinya ga sempet nulis di blog. But, itu masih kesimpen rapi di memori. Mungkin nunggu mementum lagi. Hal2 itu misalnya soal khotbah Jumat yang masih juga fatalis, terlalu pasrah pada nasib. Seolah2 rajib beribadah sau2nya jalan keluar dari masalah. Juga soal kuis yang bikin manusia tambah keliatan serakah. Juga soal, eng ing eng, belajar bahasa Inggris secara otodidak.

Anyway, kali soal diskusi di Fakultas Sastra Unud kemarin. Persis hari ini seratus tahun lalu ada perang antara Belanda dan kerajaan Badung. Banyak yang menyebut perang ini sebagai Puputan, sesuatu yang puput, selesai, purna. Atau bisa juga berarti pertempuran besar-besaran.

Diskusi kemarin dalam rangka peluncuran buku Seabad Puputan Badung, Perspektif Belanda dan Bali. Editornya peneliti sejarah Bali University of Queensland Australia Helen Creese, guru besar Sejarah Asia Erasmus University Rotterdam Belanda Henk Schulte Nordholt, dan dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana Bali Darma Putra. Mereka menghimpun sumber-sumber tentang Puputan Badung. Buku lumayan menarik meski tanpa kesimpulan apa pun.

Soal puputan Badung yang lebih menggelitik. Pada diskusi kemarin juga hadir Nyoman Wijaya, dosen sejarah Unud yang sedang membuat desertasi tentang ajeg Bali. Menariknya karena Wijaya benar2 mendekonstruksi pengertian Puputan Badung. Misalnya soal motivasi. Puputan Badung bagi Wijaya hanya kemauan kelompok elit ksatria melawan Belanda karena tak mau bayar denda. Istilah puputan pun kurang pas. Mungkin lebih pas perang begitu saja. Puputan hanya karena terpaksa. Raja Badung tak bisa menentukan pilihan lain lalu pasrah dengan perang habis2an. Cenderung fatalis.

Sebagai perang besar pun puputan Badung juga masih dipertanyakan sebagai sesuatu yang “mewakili” Bali. Saat perang, kerajaan Mengwi -yg sudah jadi bekas kerajaan- malah diam2 menysukuri hancurnya Badung. Lima belas tahun sebelumnya orang Badung juga menghancurkan Mengwi. Demikian pula kerajaan Tabanan, Bangli, Klungkung, dan Buleleng. Tak ada perlawanan sporadis dari seluruh rakyat Bali pada 20 September 1906 saat itu.

Seabad Puputan Badung, kini diperingati besar2an di Denpasar. Setahuku ada arak2an benda pusaka zaman kerajaan dulu. Menariknya ada pula pameran dagang. He.he. Inilah peringatan perlawanan terhadap penjajahan dengan menghadirkan penjajahan ekonomi.

Btw, kenapa perang selalu jadi momen peringatan ya? Kenapa bukan sesuatu yang sifatnya damai tapi menentukan masa depan yang jadi bahan renungan. Misalnya peringatan terbitnya buku Sutasoma atau apalah. Sejarah memang lebih dikenal karena perjalanannya yang berdarah-darah..

2 Comments

Filed under Uncategorized

Aku Melawan Candu. Hasilnya KO!

Hampir dua tahun akrab dengan pecandu heroin atau pun mantan pecandu, aku jadi salut sama mereka yang sudah bisa melepas diri dari jerat kecanduan. Sebab, ternyata memang ga mudah melepas jerat kecanduan. Buktinya aku!

Pertama kecanduan ngrokok. Awalnya hanya sekali dua kali aku ngrokok sejak SMA. Waktu itu iseng aja karena dikasih teman. Jadi ya ga sampai beli, apa lagi kecanduan.

Continue reading

3 Comments

Filed under Daily Life, Pikiran, Uncategorized

Data Saja Salah, Gimana Pembangunannya?

Udah lama aku pengen nulis panjang tentang Kuta. Tema tentang Kuta ini sama halnya dengan tema kemiskinan di Bali. Niatnya udah lama, tapi liputannya di kepala terus. Tak pernah reportase atau cari bahan. :))

Lalu minggu ini ide liputan tentang Kuta itu muncul lagi. Ada beberapa pemicu. Pertama karena September ini akan ada Kuta Karnival, perayaan -atas apa ya?- di Kuta. Agendanya dua tahun lalu ada pawai bersama, macam-macam lomba, dst. Kedua, Oktober nanti pasti akan ada peringatan peledakan bom di Kuta. 12 Oktober 2002 lalu teroris Amrozi dkk meledakkan bom di Kuta. Aku pikir peringatan bom 12 Oktober bisa jadi momentum untuk nulis soal Kuta.

Continue reading

2 Comments

Filed under Bali, Pikiran, Uncategorized

Setelah Aku Periksa Mata

Beberapa bulan terakhir aku sering merasa perih di mata. Fisik juga nggak terlalu bagus. Nah, hari ini sama istri aku cek mata. Soalnya ada teman bilang, mata minus akan mempengaruhi kelahiran. Karena anak kami mungkin lahir akhir bulan ini atau awal bulan depan, kami siap-siap.

Barusan kami cek mata. Istri duluan. Hasilnya mata kiri -4,5, mata kanan -5,2. Kurang lebih segitu lah. Lalu giliranku. Kepalaku ditaruh di alat pengukur mata itu. Dagu dipangku bagian bawah, bagian atas harus menyentuh alat. Ada semacam lensa di sana. Dan aku harus melihatnya dengan satu mata, satu per satu.

Continue reading

2 Comments

Filed under Daily Life, Uncategorized

Pemikul Jualan dan Ibu Pincang Bersama Anaknya

Rasa pedes sambel dan segarnya ikan Languan belum hilang dari lidahku setelah makan siang kemarin. Pas minum segernya teh botol dingin, seorang bapak lewat. Umurnya mungkin di atas 70 tahun. Dia renta. Kulitnya terliat keriput.

Aku duduk di meja makan ngobrol dengan dua teman. Bapak itu lewat di tengah terik hari. Agak tertatih memikul beban di pundaknya, peralatan rumah tangga. Bapak itu mungkin sudah setengah hari keliling memikul jualannya. Ada sapu, pengkik, kemucing, dan peralatan lain.

Continue reading

2 Comments

Filed under Daily Life, Pikiran, Uncategorized