Playboy Uncencored Version [Terakhir]

Identitas dalam Semangkuk Bakso [Terakhir]

***

Di mata AAGN Ari Dwipayana, maraknya bakso babi Ajeg Bali itu, bisa dilihat sebagai instrumen untuk memperbesar kesempatan mendapat keuntungan ekonomi. “Dua hal itu (ekonomi dan identitas) bukan dua hal yang terpisah, melainkan saling menembus,” kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta tersebut. Ari, demikian dia biasa dipanggil, lahir dan besar di Ubud, Gianyar. Kini mengajar di Fisipol UGM. Dari Yogyakarta, Ari intens mengadakan riset-riset tentang desa adat di Bali melalui Lembaga Uluangkep yang berkantor di Denpasar.

Kacamata melihat maraknya Bakso Babi Ajeg Bali juga bisa macam-macam. Bisa jadi penggunaan identitas itu untuk membangun pasar spesifik, dalam hal ini orang Bali. Tapi bisa jadi pula penggunaan identitas itu untuk membangun sentimen kebalian dalam pola konsumsi. Kalau makan bakso orang Bali akan memberikan kesejahteraan bagi orang Bali. Kalau belanja di warung orang Jawa akan mengalirkan keuntungan ke Jawa. “Sentimen itulah yang membuat pembeli beretnis Bali lebih mempertimbangkan faktor identitas dibandingkan dengan rasa atau kemahalan,” tambah Ari.

Analisa Ari ini ada benarnya, tapi juga tak sepenuhnya. Pembeli bakso Gede di Kreneng, Denpasar dan pembeli bakso Nyoman di Yeh Malet, Karangasem banyak yang beli karena ingin mencoba Bakso Babi Ajeg Bali. “Setahu saya setelah pernah membeli mereka jarang yang beli ke sini lagi,” kata Gede. Artinya faktor identitas itu berpengaruh ke pembeli untuk mencoba.

Namun tak semua pembeli demikian. Ketut Suratmaja, misalnya. Pegawai negeri sipil di Pemprov Bali ini tertarik membeli juga karena penasaran. Tapi ketika sudah tahu rasanya, bagi dia sama saja. “Saya beli bakso ya cari mana yang enak, bukan siapa yang jual,” katanya. Beberapa pelanggan di warung Diana malah orang Jawa. “Saya juga masih sering beli bakso dorong orang Jawa,” tambah perempuan berkulit putih ini.

Bagi Ari, makin banyak makanan menggunakan sentimen identitas juga bisa jadi hal positif dalam konteks masyarakat multikultural. Setiap etnis punyai selera makan khas dan kebiasaan dalam cara makan. Karena itulah dia melihat sah-sah saja penggunan identitas itu. “Namun, akan berbahaya kalau makan menjadi urusan politik identitas. Kalau tidak makan di warung Bali maka bukan orang Bali sejati atau kalau tidak mengucapkan Swasti Semeng (selamat pagi dalam bahasa Bali halus) bukan orang Bali,” tambahnya.

Toh, bagi I Gusti Ketut Agung politik identitas tetap sangat terasa dalam maraknya bakso babi Ajeg Bali. “Wacana di permukaan memang soal ekonomi, tapi saya melihat jelas ada nuansa politisnya,” kata Gung Alit, panggilan akrab aktivis Fair Trade tersebut. Nuansa politis itu terlihat dari penggunakan identitas Bali oleh penjualnya.

Gung Alit mendirikan Mitra Bali, usaha di bidang kerajinan berkantor di Ubud, Gianyar. Selain membuat kerajinan sendiri, Mitra Bali juga membeli dari perajin-perajin di Gianyar, Jember, hingga Yogyakarta. Usaha ini, menurutnya, untuk memberdayakan perajin lokal agar bisa bersaing, tapi dengan mengusung konsep perdagangan yang layak (fair trade). Mitra Bali juga jadi anggota federasi internasional usaha perdagangan yang layak, IFAT.

Bapak dua anak ini sendiri mendaftar sebagai anggota Koperasi Krama Bali sejak Agustus tahun lalu. Dia mengajak semua karyawan Mitra Bali dan perajin-perajin binaannya. “Agar bisa memberikan suara lain di situ,” ujarnya. Namun, meski sudah punya kartu anggota bernomor 01.02.0000537, hingga saat ini Gung Alit belum pernah diundang dalam rapat anggota.

Menurut Gung Alit, bakso babi Ajeg Bali, merupakan perlawanan terhadap banyaknya bakso yang dijual pendatang di Bali. “Masak pedagang kecil dilawan, sementara bule-bule yang beli villa dibiarkan saja,” tanyanya.

Tapi bagi Ari, maraknya bakso babi juga bisa dilihat sebagai bentuk keterbukaan Bali pada pilihan-pilihan berkebudayaan, termasuk soal makanan. “Sudah sangat lama Bali berinteraksi dengan budaya dan cita rasa lain,” katanya. Ari menyebut contoh Fu Yung Hay, Kolobak, Cap Cay, dan Siobak yang sudah jadi makanan sehari-hari orang Bali. Dari namanya, terlihat bahwa makanan tersebut termasuk Chinese Food. Tapi Siobak misalnya identik dengan Singaraja.

“Apakah selera bisa dipaksakan?” tanya peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogya ini.

Soal selera itu pula yang membuat Puji tak resah dengan maraknya Bakso Babi Ajeg Bali itu tadi. Pembeli baksonya tetap banyak orang Bali meski di Denpasar sudah banyak warung bakso Babi Ajeg Bali. Menurutnya, orang beli bakso datang pasti karena enak atau tidaknya bakso dan pelayanan. Bukan karena asal usul penjualnya.

“Kalau soal rezeki itu sudah diatur sama yang di atas, Mas,” katanya.+++ [TAMAT]

1 Comment

Filed under Uncategorized

One response to “Playboy Uncencored Version [Terakhir]

  1. riza

    Playboy uncencored. Di Playboy juga ada ‘bakso’ daging manusia…he…he…

Leave a comment